Alhamdulillah,
dengan kasih sayang Allah SWT, dan dengan pertolongan Allah SWT, pada jaman ini
masih kita diberikan kerja dan tanggung jawab oleh Allah SWT untuk mengerjakan
suatu amalan yang mulia yaitu berdakwah. Kerja ini, adalah untuk seluruh alam.
Rasulullah SAW dikirim ke muka bumi ini untuk seluruh alam, oleh karena itu
maka kerja Beliau juga untuk seluruh alam. Dengan demikian, maka kita sebagai
ummat Rasulullah SAW yang mengerjakan pekerjaan Beliau, juga dikirim untuk
seluruh alam. Sebenarnya pekerjaan dunia yang kita kerjakan ini, hanya sekedar
keperluan saja. Apa yang kita miliki di dunia ini yang sifatnya kebendaan, ini
hanya untuk keperluan hidup saja. Sedangkan maksud hidup kita di dunia ini,
adalah seperti maksud hidup Rasulullah SAW, yaitu dakwah illallah, mengajak
seluruh manusia untuk ta’at kepada Allah SWT.
Usaha
yang kita kerjakan di dunia ini yang sifatnya kebendaan, hanya untuk keperluan
yang sangat sementara saja. Sebagai contoh, apabila kita kerja sebagai petani,
maka hasil yang kita dapatkan hanya sebatas yang kita kerjakan yaitu sekali
tanam hanya mendapatkan satu kali panen. Demikian pula, apabila kita kerja di
toko, maka hasil yang kita peroleh dari toko tersebut, hanya sebatas usaha yang
kita kerjakan. Apabila kita mencalonkan diri sebagai menteri, maka setelah
terpilih kita hanya akan menjabat sebagai menteri satu kali saja. Dengan
demikian, maka semua pekerjaan dunia yang kita kerjakan, hasilnya hanya sebatas
yang dapat kita usahakan saja. Tetapi, kerja dalam dakwah ini, hasilnya tidak
hanya satu kali saja. Pada saat kita masih hidup di dunia, pahala akan mengalir
terus selama kita masih hidup. Sedangkan pada saat kita sudah meninggal, maka
pahala masih akan Allah SWT berikan kepada buku amalan kita, dan pahala itu
masih akan terus mengalir sampai ke anak cucu kita. Sehingga pada akhirnya,
Allah Ta’ala akan memasukkan kita ke dalam sorga untuk selama-lamanya.
Kalau
kita tengok kehidupan para sahabat RA, karena mereka mengerjakan dakwah, maka
anak cucu mereka dipelihara oleh Allah seperti anak dan cucu para raja. Bahkan
sampai saat ini, setelah 1.400 tahun sejak kehidupan para sahabat, keturunan
mereka masih dipelihara oleh Allah Ta’ala dengan kasih sayang-Nya.
Pada
suatu hari Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS, berjalan di suatu kampung. Di
kampung tersebut, mereka mendapatkan bahwa orang-orang kampung itu, tidak
menyambutnya dengan baik dan tidak melayani sebagaimana melayani tamu, tidak
tawadhu’ kepada kedua Nabi Allah tersebut, mereka bedua dibiarkan saja. Malam
hari mereka berdua menginap di kampung itu, dan keesokan harinya
ditinggalkannya kampung tersebut. Setelah keluar kampung, di tepi kampung itu
ada sebuah dinding yang akan runtuh. Nabi Khidir AS kemudian memperbaiki
dinding itu supaya tidak runtuh. Musa AS kemudian bertanya : “Wahai Khidir, untuk apa kau perbaiki
dinding tersebut ?. Orang kampung ini, tidak menghormati kita, tidak melayani
kita, tidak tawadhu’ kepada kita, mengapa kau bersusah payah memperbaiki
dinding kampung ini ?”. Dijawab oleh Khidir AS: “Wahai Musa, di kampung itu ada seorang anak yang mana kedua orang
tuanya adalah orang-orang yang sholeh. Orang tua itu, meninggalkan harta
warisan kepada anaknya yang terletak di bawah dinding itu. Kalau dinding itu
roboh, maka anak tersebut tidak akan mendapatkan harta peninggalan orang
tuanya”. Dari kisah ini, dapat ditarik suatu pelajaran, bahwa kedua orang
tua tersebut yang telah berbuat baik untuk diri mereka sendiri yang berbuat
amal sholeh, maka Allah SWT telah jaga anak-anak mereka, melalui tangan Khidir
AS. Allah Ta’ala telah pelihara anak-anak mereka.
Dari
pelajaran ini, maka apabila kita saat ini menyebarkan kebaikan-kebaikan di muka
bumi ini, maka Allah Ta’ala akan jaga kita dan anak keturunan kita. Dengan
mengajak manusia agar supaya ta’at kepada Allah SWT, maka di dunia ini
anak-anak keturunan kita akan dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT, sedangkan
di akhirat nanti kita sendiri akan dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT.
Azas
dakwah yang pertama adalah yakin kepada Allah SWT. Pada saat kita berjuang
keluar di jalan Allah, maka langkah pertama dan langkah terakhir yang harus
kita kerjakan adalah membenarkan keyakinan kepada Allah SWT. Dan inilah azas dakwah. Dengan kerja dakwah
ini, Allah SWT telah memuliakan para Anbiya AS. Allah SWT telah meninggikan
derajat mereka, telah mengangkat mereka, telah mensukseskan mereka. Demikian
pula karena kerja dakwah ini, Allah SWT telah memuliakan dan memberikan kejayaan
serta kesuksesan kepada para Sahabat RA, para Auliya dan para Wali. Begitu
pula, apabila kita kerja dakwah, maka Allah SWT akan memberikan kemuliaan,
kesuksesan, seperti yang telah diberikan kepada para Ambiya, para Sahabat, para
Auliya dan para Wali. Tidak ada perbedaan terhadap manusia yang mengerjakan
dakwah termasuk kita, Allah SWT telah janjikan kemuliaan serta keselamatan baik
di dunia maupun di akhirat. Ini adalah masalah yang haq, tidak ada
keragu-raguan lagi terhadap janji-janji Allah SWT tersebut, apabila kita kerja
dakwah maka Allah Ta’ala akan memelihara kita dan memuliakannya di dunia maupun
di akhirat. Untuk itu, dalam kerja dakwah ini janganlah memandang terhadap
asbab yang ada pada diri kita, jangan terkesan kepada asbab kita, jangan memandang
asbab kita dan jangan memandang kepada orang-orang kaya. Janganlah tergantung
kepada asbab yang ada pada diri kita, tetapi tergantunglah kepada kekuatan dan
kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, apabila seorang da’i berpaling dari Allah SWT, maka akan sangat
berbahaya bagi da’i tersebut.
Dalam
Al Quran Allah SWT berfirman yang mahfumnya adalah : “Hai Muhammad, katakanlah kepada mereka, inilah jalan-Ku yaitu mengajak
manusia kepada Allah, dengan keyakinan”. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW
tidak mengakan “ini kerjaku” atau ini
“kerjaku dengan Abu Bakar” atau ini “kerjakan dengan Umar” atau ini “kerjaku dengan para sahabat”. Tetapi,
dikatakan: “saya dan pengikut saya”
yang berarti dengan seluruh ummatnya termasuk kita yang hidup sekarang ini.
Dengan kerja ini, Allah SWT telah memuliakan dan memberikan kesuksesan kepada
Rasulullah SAW yang berarti kalau kita ikut mengerjakannya, maka kita juga akan
mendapatkan kemulian dan kesuksesan dari Allah SWT.
Oleh
karena itu, yang pertama kali harus kita sadari adalah bahwa kita ini adalah
ummat Rasulullah SAW. Jangan kita
katakan bahwa : “Saya adalah suami sang
isteri” atau “Saya adalah ayah dari
anak-anak” atau “Saya adalah ummat
negeri ini”. Tetapi yang harus kita sadari pertama kali: “Saya adalah ummat Rasulullah SAW”. Setiap langkah yang akan kita
kerjakan, apakah itu kita akan makan, minum, berpakaian, bepergian dan
lain-lainnya yang harus kita ingat pertama yaitu: “Kita adalah ummat Rasulullah
SAW. Sedangkan yang harus diperhatikan lagi, janganlah kita menengok
kerja manusia-manusia lainnya, tetapi lihatlah apa yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW.
Pada
jaman sekarang ini, apabila kita buat kerja dakwah ini dengan segala keyakinan
yang benar, dan mengatur kehidupan kita dengan keyakinan yang benar, maka
pertama kali yang Allah SWT akan
kerjakan adalah memuliakan kita. Namun demikian, salah satu kesalahan
yang sering dikerjakan oleh da’i pada saat dia mengerjakan dakwah, adalah hanya
sekedar mengambil berkahnya saja, hanya sekedar mengharapkan pahala saja, dan
tidak mempunyai niat, tekad atau fikiran bahwa kerja dakwah ini adalah maksud
hidup saya. Janganlah usaha dakwah ini hanya sekedar untuk mencari berkah atau
mendapatkan pahala saja, tetapi jadikanlah kerja ini sebagai maksud hidup.
Apabila hal ini kita niatkan dengan benar, maka Allah SWT tidak hanya akan
memberikan keberkahan dan pahala saja, tetapi juga akan memuliakan kita di
dunia dan memuliakannya di akhirat untuk selama-lamanya dan dimasukkannya ke
dalam sorganya Allah SWT yang paling tinggi.
Kelompok
manusia yang paling tinggi kedudukannya di mata Allah SWT, adalah mereka yang
menyebarkan agamanya Allah SWT. Sebagaimana para Anbiya AS, mereka adalah
manusia yang tertinggi dan dimuliakan oleh Allah SWT, demikian pula kedudukan
para Sahabat AS juga tinggi dan mulia. Para sahabat baik dari kelompok
Muhajirin dan Anshor, juga mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia, karena
mereka menjadikan dakwah sebagai maksud hidup mereka. Untuk manusia yang
mengerjakan dakwah, maka Allah akan berikan kedudukan yang mulia di dunia dan
kedudukan yang tinggi di akhirat nanti.
Sedangkan
kelompok manusia yang kedua, adalah mereka yang beramal sholeh, tetapi tidak
mengerjakan dakwah. Orang-orang ini bukan termasuk yang tertinggi dan juga
tidak yang termulia. Memang kelompok manusia ini, nantinya di akhirat akan
dimasukkan ke dalam sorganya Allah SWT. Tetapi, apabila di dunia Allah SWT
menurunkan azab kepada orang-orang kafir atau orang-orang yang ingkar dan
berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, maka kelompok kedua yaitu manusia sholeh
yang tidak berdakwah tadi, juga akan terkena azab tersebut.
Allah
SWT telah menjadikan kita sebagai da’i. Sebagai da’i kerja kita adalah dakwah.
Dakwah inilah kerja kita yang sebenarnya. Oleh karena itu, pada waktu kita
kerja di dunia kita juga berdakwah, waktu mengajar kita juga berdakwah, waktu
belajar kita juga berdakwah, waktu ke toko kita juga berdakwah, waktu ke kantor
kita juga berdakwah, waktu ke sawah kita juga berdakwah, dan seluruh aspek
kehidupan kita baik muamalat maupun muasyarat
tak terlepas dari kerja dakwah. Apabila seluruh ummat ini kerja dakwah
dan dimanapun dia berada selalu berdakwah, maka agama akan tersebar ke seluruh
alam. Tetapi, apabila ummat ini meninggalkan kerja dakwah, maka ummat ini akan
menderita kerugian, yaitu agama akan keluar dari kehidupan mereka. Sedangkan
kalau ummat ini mengerjakan dakwah, maka akan mendapatkan tiga manfaat, yaitu :
Dengan dakwah, Islam akan tersebar ke seluruh dunia. Dengan kerja dakwah,
pertolongan Allah SWT akan datang untuk ummat. Dengan kerja dakwah, nidhomul
ghoib Allah akan diturunkan kepada orang yang mengerjakan dakwah tersebut.
Apabila ketiga manfaat ini sudah terwujud, maka Allah akan memberikan manfaat
satu lagi kepada para pekerja dakwah tersebut, yaitu do’a-do’a mereka akan
diterima oleh Allah SWT.
Apabila
ummat ini tetap mengerjakan dakwah, dan mereka menjadikan dakwah sebagai maksud
hidupnya, maka para ahli bathil akan mendapat naungan dari kerja para da’i
tersebut. Orang-orang ahli bathil, akan dengan mudah mengikuti kehendak ummat
ini. Namun demikian, seandainya ummat Islam meninggalkan dakwah, maka Islam
tidak akan tersebar lagi dan tertutup pula penyebaran agama Islam dan inilah
kerugian-kerugian yang akan diderita oleh ummat. Kerugian berikutnya, Islam
akan keluar dari kehidupan ummat ini.
Pada
saat ummat Islam hanya mengerjakan sholat saja, dzikir saja, dan meninggalkan
kerja dakwah, maka Islam akan keluar dari kehidupan ummat ini dan do’a-do’a
mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Kalau kerja dakwah ditinggalkan, maka
wali-wali Allah SWT akan ikut orang-orang ahli bathil. Untuk itu, marilah kita
jadikan dakwah ini sebagai kerja kita dan sebagai maksud hidup kita, seperti
yang telah dikerjakan oleh para wali-wali Allah SWT yang terdahulu, sehingga
pertolongan Allah SWT akan bersama dengan kita. Dengan dakwah ini, akan dapat
mengatasi segala permasalahan yang sedang kita hadapi. Untuk itu, kita harus
kerjakan dakwah ini dengan penuh keyakinan.
Dalam
mengerjakan dakwah ini, kita harus penuh dengan rasa tawadhu’. Di dalam kerja
dakwah ini, Allah SWT telah letakkan kebesaran-kebesaran, kemuliaan-kemuliaan,
dan keagungan-keagungan. Oleh karena itu, dalam mengerjakan dakwah ini, jangan
ada rasa sombong dalam hati kita. Jangan menilai diri kita lebih baik dari
orang yang lainnya, karena apabila sifat ini muncul di hati kita, maka Allah
SWT tidak akan memandang diri kita lagi.
Allah
SWT berfirman dalam Al Quran yang kurang lebih artinya: “Adakah sesuatu perkataan yang lebih baik, yang mengajak manusia kepada
Allah dan beramal sholeh”. Jadi apabila seorang da’i mengerjakan dakwah,
maka apa yang dia dakwahkan harus dia kerjakan lebih dahulu. Apabila dia
mendakwahkan suatu amalan, maka amalan tersebut harus ada pada diri dia dulu.
Apabila dia mendakwahkan akhlak, maka akhlak harus ada pada diri dia dulu.
Demikian pula dalam mendakwahkan amal–amal muasyarat yang lain, maka hal ini
harus ada pada diri dia terlebih dulu. Apabila ini terjadi, maka apa yang kita
dakwahkan akan mengesankan orang lain yang didakwahi. Pada saat orang lain
terkesan, maka diri kitapun akan ikut terkesan dengan dakwah yang kita
kerjakan. Sedangkan apabila kita berdakwah, sedangkan diri kita tidak
melaksanakan apa yang kita dakwahkan tersebut, misalnya kita dakwah tentang
amalan tetapi kita tidak melaksanakan amalan itu, kita dakwah tentang akhlak
tetapi kita tidak punya akhlak, maka
orang lain tidak akan terkesan dengan dakwah kita dan diri kita juga tidak akan
terkesan dengan dakwah itu sendiri.
Pada
dasarnya, dakwah ini bukan untuk orang lain. Azas dari dakwah ini, adalah untuk
diri kita sendiri. Oleh karena itu, pada saat kita berdakwah, maka niat yang
paling utama adalah untuk diri sendiri. Dengan pola pemikiran dan cara semacam
ini, maka Allah SWT akan memberikan taufiq, Allah SWT akan memberikan kekuatan
kita untuk beramal dan ini dampaknya akan sangat mengesankan diri kita sendiri,
yang pada gilirannya akan mengesankan orang lain yang kita dakwahi.
Untuk
itu, pada saat kita berdakwah dengan niat yang benar, maka Allah SWT akan
mengikut sertakan orang lain dalam amalan-amalan kita. Allah SWT akan
memberikan hidayah kepada orang lain, untuk mengikuti kerja dakwah yang kita
lakukan. Sedangkan apabila mereka menolak dakwah kita, maka Allah SWT akan
menghancurkan mereka.
Dalam
kerja dakwah ini, harus kita imbangi dengan rasa tawadhu’. Kita menyebar ke
seluruh alam untuk berdakwah, namun dengan sifat-sifat yang tidak congkak.
Bahkan, kita harus sampaikan kepada orang-orang yang kita dakwahi tersebut,
bahwa sebenarnya “kami sama dengan
kalian”. Sebagaimana kaum muslimin yang lain, kita tidak ada bedanya.
Rasulullah SAW, bersabda: “Barangsiapa
yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah SWT akan tinggikan derajatnya. Dan
barangsiapa takabur atau sombong di hadapan Allah SWT, maka Allah akan hinakan
dia dan akan menjatuhkannya”.
Sekali
lagi, laksanakan dakwah ini dengan rasa tawadhu’ dan tidak sombong. Sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada waktu masuk kota Mekkah pada
saat hari kemenangan, atau pada saat terbukanya kota Mekkah yang mana Rasulullah
SAW masuk kota itu dengan tentara-tentaranya, Beliau SAW tundukkan kepalanya
bahkan sampai perut Beliau SAW hampir menempel di punggung ontanya. Padahal,
Rasululllah SAW adalah orang yang mulai karena kerja dakwah, tetapi memasuki
kota Mekkah yang telah ditundukkannya dengan rasa yang tawadhu’. Pada waktu
itu, salah seorang pimpinan Anshor yang di tangannya ada bendera, dia katakan: “Hari ini adalah hari pembalasan”.
Mendengar ucapan tersebut, kemudian Rasulullah SAW turun dari ontanya, dan
diambilnya bendera yang sedang dipegang oleh sahabat tadi, sambil berkata : “Engkau tidak layak menjadi pimpinan. Hari
ini bukanlah hari pembalasan, tetapi hari kasih sayang kepada ummat manusia”.
Setelah bendera berada di tangan Rasulullah SAW kemudian diberikan kepada anak
sahabat tadi. Inilah sifat tawadhu’ dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kita
harus mencontoh teladan yang telah diberikan oleh Baginda Rasulullah SAW,
melakukan dakwah dengan tawadhu’ dan penuh dengan cinta serta kasih sayang
kepada manusia yang lain.
Apabila
dakwah ini tidak kita lakukan dengan mahabah, dengan cinta dan kasih sayang,
maka yang akan terjadi adalah kerugian-kerugian, dan Allah SWT tidak berikan
kepahaman kita terhadap usaha dakwah, kemudian kita juga dijauhkan dari
kenikmatan-kenikmatan besar yang datangnya dari Allah. Kerja dakwah ini, adalah
kerja yang besar, kerja yang penuh dengan keberkahan. Untuk itu, kita harus
sering instrospeksi terhadap diri kita masing-masing. Kita lihat
kesalahan-kesalahan apa yang sudah kita perbuat, dan kesalahan-kesalahan yang
diperbuat oleh orang lain itu juga disebabkan karena kesalahan kita sendiri.
Allah
SWT telah menggunakan seumur hidup Maulana Ilyas Rah.A, untuk kerja dakwah.
Seluruh harta-hartanya habis untuk kerja dakwah. Pada suatu saat, beliau pergi
ke salah satu kota di India yang bernama Lucknow. Di tempat itu, beliau
diundang oleh seorang Bupati yang kaya raya di wilayah itu, untuk sarapan pagi.
Untuk keperluan itu, orang tadi mengutus pembantunya, menyampaikan undangan ke
Maulana Ilyas. Pembantu itu, mengatakan kepada Maulana Ilyas : “Tuan, diundang oleh majikan saya untuk
sarapan pagi pukul 09.00”. Padahal, undangan orang tersebut sebenarnya
pukul 08.00, bukan pukul 09.00. Karena undangan dikatakan pukul 09.00, maka
Maulana Ilyas datang tepat pada pukul 09.00. Sedangkan ulama-ulama lain yang
diundang orang tadi, sudah datang terlebih dahulu, yaitu pukul 08.00, karena
memang undangan yang disampaikan juga pukul 08.00. Lantaran Maulana Ilyas
datang pukul 09.00, sesuai dengan waktu yang disampaikan oleh pembantu orang
tadi, maka beliau telah terlambat satu jam. Oleh karena itu, maka Maulana Ilyas
dicaci maki di hadapan para undangan lainnya, oleh bupati si pengundang
tersebut. Dikatakannya: “Engkau telah
buat kerja yang besar, tetapi pada saat menghadiri undangan engkau tidak datang
tepat pada waktunya. Kemana ummat ini akan engkau bawa ?”. Mendengar cacian
ini, Maulana Ilyas diam saja. Tidak menjawab sepatah katapun. Setelah acara
makan pagi selesai, maka Maulana Ilyas pulang kembali ke New Delhi dengan
menggunakan kendaraan kereta api.
Pada
malam hari, di rumah orang Bupati tersebut, saat dia akan tidur,
dipijit-pijitlah kepalanya oleh pembantu yang menyampaikan undangan ke Maulana
Ilyas. Dia berkata: “Wahai tuan,
sebenarnya bukan Maulana yang salah. Sayalah yang salah, karena menyampaikan
kepada Maulana undangan pukul 09.00. Sayalah yang salah menyampaikan waktu
undangan tersebut kepada Maulana. Dan Maulana ternyata datang tepat pada
waktunya”. Mendengar tutur kata pembantunya tadi, Bupati itu gelisah
sepanjang malam sampai pagi. Setelah pagi tiba, maka diajaknya seluruh undangan
yang hadir pada acara makan pagi tersebut ke New Delhi, untuk menemui Maulana
Ilyas. Sampai di New Delhi dan berjumpa dengan Maulana Ilyas, Bupati tadi minta
ma’af kepada Maulana disaksikan oleh seluruh undangan yang pernah mendengarkan
caci maki Bupati kepada Maulana Ilyas. Menyadari kesalahannya, Bupati tadi
menangis dan menangis, sehingga Maulana Ilyas ikut menangis. Mengapa saling
menangis ?. Karena Bupati telah menyadari kesalahannya dan Maulana juga merasa
bahwa itu juga karena kesalahannya sendiri.
Sebagai
da’i kita harus bersikap tawadhu’, dan selalu mengakui kesalahan sendiri serta
merasa bahwa kesalahan orang lain juga karena kesalahan kita sendiri. Sebagai
da’i harus berani mengakui : “Karena dosa
yang saya perbuat, maka orang lain berbuat seperti itu. Bukan salah dia, tetapi
salah saya”.
Sebagai
da’i, kita harus selalu khusnudhon atau berbaik sangka kepada orang lain. Harus
selalu kita tanamkan baik sangka ini, kepada orang lain. Sedangkan kepada diri
sendiri, harus ditanamkan su’udhon atau buruk sangka. Jadi, baik sangka untuk
orang lain dan buruk sangka untuk diri sendiri. Apabila kita dapat melakukan
hal yang demikian, maka Allah SWT akan pilih kita sebagai da’i-Nya. Jangan
salahkan mereka, tetapi salahkan diri sendiri. Kalau sifat-sifat semacam ini
telah tertanam pada diri kita, maka akan dapat dicapai kesatuan hati. Sedangkan
kalau kita selalu berburuk sangka kepada orang lain, maka hasilnya akan timbul
perpecahan di mana-mana, dan kesatuan hati sulit dicapai.
Maulana
Yusuf Rah.A berkata: “Di dalam keburukan orang lain, carilah
kebaikannya. Di dalam kebaikan itulah namanya akhlak. Sedangkan dalam kebaikan
kita sendiri, kita cari keburukannya dan itulah yang namanya ikhlas”. Untuk
itu, hendaknya kita selalu melihat kebaikan-kebaikan orang lain, sementara itu
untuk diri pribadi harus kita lihat keburukan-keburukannya. Sehingga dengan
cara ini, maka akan timbul sikap memuliakan dalam diri kita. Kemudian kita
memuliakan sesama karkun atau orang lain, sehingga kesatuan hati dapat dicapai
dan kerja akan naik, serta kawan kita akan mampu untuk membuat kerja dakwah
ini. Apabila kita hanya menghendaki orang lain untuk memuliakan kita, untuk
menghormati kita, maka yang akan terjadi adalah kerugian-kerugian. Bahkan akan
timbul permusuhan terhadap diri kita. Dan syetan selalu mencoba untuk
menggiring kita ke jalan yang sesat ini. Syetan akan membisiki kita: “Masya Allah kamu ini karkun lama. Kamu
sudah berkali-kali keluar 40 hari. Kamu ini lebih mulia dari dia, dan dia itu
tak ada apa-apanya bagi kamu”. Maka kita berusaha duduk di alas makan
(suprah), untuk dilayani makanan. Inilah godaan syetan. Syetan masih terus
menggoda dengan bisikannya: “Kamu ini
orang lama, sudah sepantasnya menjadi ahli syuro. Lihat tuh, orang baru saja
sudah ditunjuk menjadi syuro, padahal engkau orang lama yang lebih berhak
menjadi syuro”. Syetan berusaha merusak hati kita, dengan berbagai tipu
dayanya, sehingga kita merasa menjadi orang lama, orang yang sudah banyak
berkorban dan sudah pantas diangkat menjadi syuro. Pada saat kita digoda syetan
semacam ini, maka kita harus mengambil sikap tegas agar tidak tergoda dengan
bujukan syetan dan mengatakan pada diri sendiri: “Karena ikhsan-Nya Allah saya dapat keluar di jalan Allah, padahal saya
mempunyai banyak dosa-dosa di masa lalu. Karena kemurahan Allah, saya dapat
keluar di jalan Allah, bukan karena kepandaian saya, padahal dosa-dosa yang
telah kita buat banyak sekali”. Pikiran semacam ini harus kita tanamkan
betul di hati kita. Sementara itu, kita harus mengatakan pula pada diri
sendiri, bahwa pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat oleh orang lain,
disebabkan Allah yang telah memberikan kasih sayang-Nya, dan Allah-lah yang
memajukan serta memuliakan mereka. Dan kita do’akan semoga Allah lebih
meningkatkan derajat mereka.
Keinginan
diri kita agar dimuliakan oleh orang lain, dihormati oleh orang lain atau kawan
yang lainnya, ini jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan keinginan untuk
memiliki harta kekayaan. Harta ini akan habis, apabila kita korbankan atau kita
buat untuk mujahadah, sehingga akan habis atau lenyap dari hati kita kebesaran
benda-benda tersebut. Sedangkan kalau kita minta dimuliakan dan minta dihargai
atau dihormati, ini tidak akan habis atau lenyap, meskipun kita sudah berkorban
dan bermujahadah. Semoga Allah SWT menjaga kita, dari keinginan-keinginan buruk
tersebut. Amien.
Untuk
mengerjakan dakwah ini, kita harus merasa kecil, sehingga Allah SWT akan
menjaga kita dan Allah Ta’ala akan menaikkan derajat kita, serta Allah akan
memberikan kejayaan kepada kita.
Kerja
ini, adalah kerja ijtimai. Untuk melestarikan agar kerja dengan cara ijtimai
ini tetap berjalan, adalah suatu hal yang sangat penting sekali. Kerja ijtimai
ini harus tetap kita lakukan, meskipun badan kita letih, harta kita habis,
tetapi tetap saja kita harus mengusahakan agar kerja ini tetap dengan cara
ijtimai. Agar supaya cara kerja ijtimai ini tetap dapat kita pertahankan, maka
kita harus mempunyai tiga sifat. Pertama,
harus dihindarkan prasangka buruk kepada orang lain. Kedua, jangan mencari aib orang lain. Ketiga, pada saat kita melihat aib orang lain, maka jangan
dibicarakan kepada orang yang lainnya lagi. Apabila ketiga perkara ini dapat
kita jaga dengan baik, maka Allah SWT akan pelihara kerja dengan cara ijtimai
ini, dan kerja ini akan menjadi kerja yang lestari.
Dengan
kerja yang penuh mubarak, kerja yang penuh berkah ini, maka kita harus lakukan
dengan penuh mujahadah. Mujahadah adalah ruh dari kerja ini. Mujahadah adalah
ruh daripada Islam. Mujahadah telah dihabiskan oleh musuh kita, sehingga Islam
keluar dari diri kita. Apabila ummat ini tetap dalam kondisi mujahadah, maka
Islam akan tersebar. Tetapi kalau musuh-musuh kita membawa kita dalam kondisi
yang penuh kenyamanan, keenakan, banyak istirahat, maka Islam akan keluar dari
kehidupan ummat ini, sehingga tidak ada ruh lagi pada ummat Islam. Dalam kerja
yang besar ini, setiap saat kita harus siap untuk bermujahadah. Apabila kita
siap bermujadah, maka kapan saja dan dalam keadaan bagaimanapun kita akan mudah
mengerjakan usaha dakwah.
Apakah
yang dimaksudkan dengan mujahadah ?. Mujahadah adalah sesuatu yang berlawanan
dengan nafsu. Kita kerjakan seluruh perintah-perintah Allah SWT, dan caranya
mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Itulah yang disebut
mujahadah. Sekarang ini, kita tidak mujahadah lagi. Karena mujahadah itu
sebenarnya ada empat perkara. Pertama,
sesuatu yang berlawanan dengan nafsu kita. Kedua,
menunaikan perintah Allah SWT dan kita sempurnakan perintahnya Allah. Ketiga, kita kerjakan sesuai dengan cara
Rasulullah SAW. Keempat, ridho karena
Allah, kita kerjakan usaha ini semata-mata karena Allah. Kalau kerja dakwah ini
kita kerjakan dengan keempat masalah ini, maka inilah yang disebut mujahadah.
Pada
suatu saat kita dimusyarahkan. Kita niat keluar 4 bulan. Hasil musyawarah, kita
diputuskan pergi ke Jepang. Padahal, dalam hati kita menginginkan agar
diputuskan untuk pergi ke India dan Pakistan. Ini berlawanan dengan nafsu.
Apabila kita tekan nafsu kita, kemudian mengerjakan takazah agama tersebut
pergi ke Jepang dengan empat perkara yang tersebut di atas, inilah yang disebut
mujahadah. Pada saat itulah Allah akan memberikan keputusan-Nya untuk
memberikan hidayah kepada kita, dan juga hidayah kepada orang-orang di negara
yang kita datangi.
Dengan
hasil musyawarah bahwa kita diputuskan ke negara lain, janganlah kita berburuk
sangka kepada ahli syuro dengan pikiran: “jangan-jangan
ada orang yang berbisik-bisik kepada ahli syuro, supaya saya dikirim ke negara
lain yang bukan negara yang saya kehendaki”. Berfikirlah bahwa hasil
musyawarah tersebut adalah keputusan Allah dan ini semua datang dari Allah SWT.
Berfikirlah bahwa kita kerja ini semata-mata hanya mengharapkan ridho dari
Allah, bukan karena syuro tetapi karena Allah . Dengan berfikir semacam ini,
maka Allah Ta’ala akan memberikan hidayah kepada kita. Insya Allah.
Apabila
kita keluar di jalan Allah, kemudian kita tahan hawa nafsu kita dengan
mujahadah, maka Allah akan memuliakan kita. Misalnya, dalam perjalanan 3 Km,
sebenarnya jarak ini dengan mudah kita lalui dengan menggunakan kendaraan dan
akan cepat sampai ke tempat tujuan. Jarak tersebut kita tempuh dengan jalan
kaki. Ini berlawanan dengan nafsu, karena harus melakukan kerja yang lebih
berat. Meskipun demikian, kita kerjakan pekerjaan tersebut dengan jalan kaki,
melawan hawa nafsu, inilah yang namanya mujahadah. Dengan mujahadah semacam ini, Allah SWT akan membuka kepahaman
kita tentang usaha dakwah. Sesuatu yang menjadi beban kita, kemudian kita dapat
melawannya, itulah yang disebut mujahadah.
Sedangkan apa yang telah kita kerjakan, kemudian kita berusaha untuk
meningkatkannya lagi, itulah namanya pengorbanan.
Apabila
kita meluangkan waktu tiga hari setiap bulan, kemudian jaulah setiap minggu,
ini namanya bukan mujahadah. Tetapi, apabila kita meningkatkan apa yang telah
kita kerjakan, itu namanya pengorbanan. Kemudian kita tingkatkan pengorbanan
tersebut terus menerus, maka Allah SWT akan memberikan kepahaman kepada kita terhadap usaha dakwah ini. Apabila kerja
ini sudah menjadi kebiasaan atau sudah menjadi adat kita, ini namanya juga
bukan pengorbanan dan bukan mujahadah. Karena itu tinggal menyempurnakan saja.
Dan ini tidak akan menyebabkan sebab turunnya hidayah, sebab hal ini sudah
rutin kita kerjakan dan sudah menjadi adat istiadat, sehingga maksud tujuan
kita tidak tercapai. Misalnya, kita sudah putuskan bahwa setelah sholat Ashar
akan dilakukan jaulah. Kemudian pada saat itu, kita kedatangan tamu yaitu seorang paman atau sanak famili di
rumah kita. Karena ada tamu, maka kita tinggalkan jaulah kita. Apabila ini kita
lakukan untuk menghormati tamu tersebut dan meninggalkan jaulah, maka untuk
selama-lamanya jaulah kita tidak akan mempunyai ruh. Tetapi, kalau kita katakan
kepada tamu kita: “Tuan berbicaralah 3-4
menit, kami akan ada jaulah dan sebentar lagi saya akan pergi jaulah”.
Kemudian kita minta anak-anak kita untuk melayani tamu tersebut, maka inilah
yang disebut pengorbanan. Apabila kita lakukan semacam ini, kita tetap jaulah
dan tidak terkesan atas kedatangan tamu tersebut, maka kita akan mendapatkan
hakekat dari jaulah itu sendiri. Tetapi, apabila kita terkesan dengan tamu,
kita layani tamu itu, duduk-duduk dengan tenang dengan tamu itu, kita tinggalkan
jaulah kita, maka seumur hidup kita mengerjakan jaulah tidak akan mendapatkan
hakekat dari jaulah tersebut.
Dalam
kerja ini, yang penting adalah membuat pengorbanan. Bukan jaulah maksudnya,
bukan 3 hari maksudnya, bukan 40 hari maksudnya, tetapi maksudnya adalah
pengorbanan. Apabila pengorbanan telah terwujud, maka pengorbanan tersebut akan
menjadi sebab turunnya hidayah bagi da’i yang bersangkutan. Bukan usaha-usaha
lain yang dapat menurunkan hidayah, tetapi pengorbanan yang dapat menjadi sebab
turunnya hidayah.
Misalnya,
kita sudah menentukan waktu keluar 3 hari yaitu minggu ini, atau katakanlah
minggu yang pertama. Tiba-tiba pada saat waktu yang sudah ditentukan, ibu kita
sakit keras bahkan hampir mati. Kalau kita bawa dalam musyawarah, orang-orang
akan mengusulkan : “Jangan kamu keluar
minggu ini. Sebaiknya kamu keluar minggu depan saja. Kerja ini adalah kerja
seumur hidup kita. Kapan lagi kamu akan berjumpa dengan ibumu ?”. Dalam
kondisi semacam ini, kata Maulana Yusuf Rah.A, apabila kita tetap saja keluar
di jalan Allah, maka dapat kita buktikan bahwa diri kita ini sebenarnya bukan
milik siapa-siapa, tetapi milik Allah dan Rasul-Nya. Di sisi lain Beliau
katakan, apabila kita menunggu ibu kita yang sedang sakit dan membatalkan
keluar di jalan Allah, kalau Allah sudah takdirkan ibu itu akan mati, maka
tetap akan mati meskipun kita jaga dan kita rawat dengan baik. Namun demikian,
kalau kita tetap saja keluar di jalan Allah dengan meninggalkan ibu yang sedang
sakit tersebut, kemudian ibu itu mati pada saat kita sedang keluar, maka
pengorbanan ini dapat menjadikan sebab Allah SWT memberikan ampunan untuk ibu
kita.
Inilah
yang disebut sebagai pengorbanan. Sebagaimana Allah perintahkan kita untuk
sholat fardhu lima kali sehari semalam. Allah dapat saja, memerintahkan kita
untuk sholat hanya satu kali saja. Tetapi mengapa Allah perintahkan lima kali
dalam sehari?. Hal ini dimaksudkan oleh Allah, agar kita melakukan pengorbanan.
Pada saat kita dapat meninggalkan dunia kita, kemudian menuju kepada Allah melaksanakan
perintah sholat, maka pengorbanan ini akan dapat menjadikan kita dimuliakan
oleh Allah SWT. Dan Allah akan memberikan penghargaan kepada kita, atas
pengorbanan yang kita lakukan itu. Oleh karena itu, dalam kehidupan 24 jam kita
sehari semalam, harus kita tengok apakah ada peningkatan pengorbanan dalam
rentang waktu tersebut ?. Kita juga mengharapkan agar kawan-kawan kita juga
meningkatkan pengorbanan. Apabila kita tingkatkan pengorbanan-pengorbanan
tersebut, maka Allah SWT akan memberikan hidayah ke seluruh alam.
Kita
tahu ada tertib-tertib dalam usaha dakwah ini. Mengikuti tertib-tertib
tersebut, adalah tindakan yang baik. Namun demikian, dengan mengikuti
tertib-tertib itu memang agama akan ada pada diri kita, tetapi tidak
menyebabkan tersebarnya agama ini. Dengan pengorbanan itulah, agama akan
tersebar di seluruh dunia. Di samping kita harus mengikuti tertib-tertib, kita
harus juga menyambut takazah-takazah (tugas/kerja agama) yang lain. Dengan
mengikuti tertib dan menyambut setiap takazah, inilah yang disebut pengorbanan.
Apabila pengorbanan terwujud, maka Allah SWT akan memberikan hidayah kepada
manusia. Tertib adalah penting, karena dengan tertib itu kita telah
mengislahkan diri kita. Untuk kepentingan pribadi, nisob dan lain sebagainya,
perlu hendaknya menjaga tertib dengan baik. Namun pengorbanan harus diutamakan,
karena inilah yang menyebabkan agama tersebar ke seluruh alam.
Untuk
itulah, kerja ini adalah kerja yang berkesinambungan, kerja yang langgeng,
kerja yang terus menerus. Kerja bukan hanya 1 hari, 3 hari, 40 hari, 4 bulan
atau 1 tahun saja, tetapi kerja ini adalah untuk seumur hidup kita. Oleh karena
itu, 40 hari atau 4 bulan ini, pada dasarnya hanya untuk belajar saja. Belajar
untuk mendapatkan sifat kasih sayang, belajar untuk dakwah, belajar untuk
melayani. Sedangkan maksud dan tujuannya adalah agar kerja ini, menjadi kerja
kita seumur hidup.
Da’i
ini diibaratkan seperti matahari. Matahari memberikan sinar dan bermanfaat
untuk keperluan manusia di seluruh muka bumi. Apabila da’i mempunyai sifat
seperti mataharti, maka dia dapat memberikan sinar dan menjadi sebab turunnya
hidayah ke seluruh alam. Bagaimana sifat matahari ?. Pertama, matahari keluar tepat pada waktunya dan keluar dengan nur
atau cahaya. Kedua, matahari keluar
tidak terlambat, satu menitpun tidak terlambat, tidak kecepatan dan juga tidak
lambat, selalu tepat waktu. Demikian pula da’i, keluar harus tepat pada
waktunya, dan keluar dengan nur hidayah. Misalnya, seluruh pencuri kumpul,
seluruh perampok kumpul dengan tujuan untuk mencegah terbitnya matahari, supaya
mereka bisa berbuat kejahatan terus di malam hari, apakah mereka mampu menahan
keluarnya matahari ?. Mereka tidak akan mampu untuk menahan terbitnya matahari.
Demikian pula, apabila da’i tetap keluar pada waktunya, meskipun ada hambatan,
ada rintangan, tetapi tetap saja da’i tersebut keluar di jalan Allah pada
saatnya untuk keluar, dia tinggalkan seluruh permasalahan yang sedang
dihadapinya, maka dengan pertolongan Allah, dengan kodrat Allah akan Allah
selesaikan masalah-masalah yang dia hadapi, dan da’i tersebut dapat menjadi
sebab tersebarnya hidayah di permukaan bumi, tanpa dapat dicegah oleh siapapun.
Timbullah cahaya yang terang dan kegelapan akan sirna. Sepertinya halnya
matahari, begitu terbit dia akan memancarkan sinarnya dan menerangi permukaan
bumi, tanpa dapat dicegah. Dengan demikian, kalau da’i keluar di jalan Allah,
maka dia dapat menerangi atau memberikan cahaya kepada orang lain.
Sifat
kedua dari sifat matahari berikutnya
adalah dia terus berjalan, tidak pernah berhenti walaupun hanya sejenak saja.
Begitu pula, da’i harus keluar terus menerus, tidak pernah berhenti meskipun
hanya sesaat. Pada saat kita telah memulai kerja, maka sampai matipun harus
tetap kita pertahankan kerja dakwah tersebut. Jangan berhenti. Inilah da’i yang
sebenarnya, mempunyai sifat seperti matahari, yang tak kunjung berhenti dari
peredaran walaupun cuma sejenak saja. Apabila sifat ini sudah ada pada seorang
da’i, maka pada saat da’i masih hidup agama juga hidup, dan pada saat da’i yang
dimaksud meninggal dunia, maka agama juga masih tetap akan hidup. Untuk itu
kerja dakwah ini ada dua macam. Yaitu pertama untuk diri kita sendiri, dengan
amalan maqomi, dan yang kedua untuk orang di luar diri kita. Jadi kerja untuk
diri sendiri, dan juga kerja untuk orang lain.
Sifat
matahari yang ketiga, dia berputar
menyinari permukaan bumi, tidak menginginkan apa-apa dari bumi tersebut.
Demikian pula, seorang da’i harus terus berkerja, tanpa mengharapkan upah dari
siapapun saja. Kita kerja agama ke sana ke mari, tetapi tidak mengharap apapun
dan tidak minta upah dari siapapun. Kita langsung minta upah kepada Allah SWT.
Jangan minta apapun dari siapapun, kecuali mengharap ridho dari Allah. Kita
kerja dan kerja terus, hasilnya nanti baru akan dapat kita lihat di akhirat.
Begitulah yang pernah dikerjakan oleh para sahabat Nabi. Mengitari permukaan bumi ini, menyebarkan
agama tanpa mengharap upah dari siapapun. Mereka tidak mengharapkan keuntungan
dunia sedikitnya, yang diharapkan adalah keuntungan di akhirat. Kerjakan saja
apa yang telah diperintahlan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kerja saja terus, dan
Allah SWT akan menetapi janji yang telah diberikan kepada kita. Kita buat
kerja, dan hasilnya baru kita petik di akhirat nanti. Apabila kita hanya
menengok hasil-hasil di akhirat nanti, itulah yang dinamakan ikhlas. Oleh
karena itu, kalau di hati kita tidak ada kebesaran akhirat, tidak rindu dengan
kampung akhirat, maka syetan akan jerumuskan kita, syetan akan sesatkan kita di
dunia, dan kita kerja dakwah ini semata-mata hanya mengharapkan keuntungan
dunia saja.
Dalam
mengerjakan dakwah ini, harus dengan sifat ikhlas. Caranya dengan membesarkan
tentang akhirat dan mengecilkan dunia. Tidak menginginkan sesuatu apapun yang
ada di dunia, kecuali akhirat, itu yang disebut ikhlas. Bagi orang yang ikhlas,
dia tidak tergiur dengan gemerlapnya dunia, karena dia yakin akan mendapatkan
yang lebih baik di akhirat nanti. Kita mengerjakan dakwah ini, tidak ada pamrih
dari siapapun, semata-mata karena Allah. Pada saat kita dakwah, kemudian orang
mau mendengarkan atau tidak mendengarkan, hal ini tidak menjadi masalah. Orang
mau duduk atau tidak duduk di masjid mendengarkan bayan atau targhib, tidak ada
masalah. Yang penting, kita ikhlas mengerjakan usaha ini. Tetapi, kalau tidak
ikhlas, kita paksa orang untuk duduk tawajuh. Pada saat mereka tidak mau duduk,
kita marah. Ini sebagai pertanda kita tidak ikhlas. Terserah mereka, yang
penting kerja saja semata-mata mengharap ridho dari Allah. Apabila kita tidak
ikhlas, maka kita tidak akan dapat mencapai suatu maqom atau kedudukan yang
diterima oleh Allah SWT.
Apabila
kita mengerjakan dengan ikhlas, maka kita akan mudah mengamalkan suatu amalan,
dan Allah akan menepati janji-janjinya. Karena janji Allah adalah haq.
Dicontohkan, apabila kita sholat dhuha. Dengan sholat dhuha, dikatakan kita
akan mendapatkan keberkahan dalam rezeki kita. Janji Allah adalah benar. Kalau
kita kerjakan sholat dhuha, maka rezeki kita akan berkah. Tetapi, kalau kita
sholat dhuha semata-mata untuk mendapatkan keberkahan rezeki kita, maka hal ini
namanya tidak ikhlas. Sedangkan kalau kita kerjakan semata-mata karena
mengharap ridho Allah, maka Allah pasti akan menepati janjinya, dan rezeki kita
menjadi berkah.
Untuk
itu, sebelum mengerjakan suatu amalan, kita harus membenarkan atau meluruskan niat kita. Demikian pula,
setelah amalan tersebut kita kerjakan, kita harus tetap meluruskan atau
membenarkan niat kita. Pada saat kita sedang mengerjakan amalan, kita juga
harus membenarkan dan meluruskan niat kita. Tidak ada satu mufti-pun yang dapat
memberikan fatwa tentang ikhlas. Kita sendiri yang dapat mengatakan, apakah
kita itu ikhlas atau tidak. Untuk itu, kita harus betul-betul meluruskan niat
kita dalam melaksanakan suatu amalan.
Kadang-kadang,
pada awalnya kita ikhlas dan juga melakukan pengorbanan. Tetapi, setelah orang
menghormati kita, orang melayani kita, maka syetan mulai menggoda dengan
berbagai tipu dayanya, dengan maksud merusakkan niat. Syetan membisikkan ke
hati, agar kita selalu ingin dilayani dan
ingin mendapatkan dunia. Kalau ini sudah terjadi, maka kerja-kerja yang sudah
pernah kita buat akan rusak semuanya. Oleh karena itu, setiap saat kita
mengerjakan usaha dakwah ini, harus disertai perasaan takut. Maksud dari usaha
ini, adalah merubah kehidupan menuju ke arah yang diridhoi oleh Allah.
Perubahan yang bagaimana ?. Yaitu, meningkatnya amal kita, meningkatnya iman
kita, meningkatnya akhlak kita, meningkatnya muamalat kita, meningkatkan
muasyarat kita, sehingga ada peningkatan terus, dan inilah yang dimaksud dengan
usaha dakwah.
Jadi
keluar 40 hari, 4 bulan ini, maksudnya adalah untuk merubah kehidupan kita.
Apabila kita sudah keluar, tetapi kehidupan kita tidak berubah, ini artinya
pertolongan Allah belum bersama kita. Keluar 40 hari atau 4 bulan ini bukan
maksud hidup kita, tetapi perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik itulah
maksud hidup kita. Untuk itu, kita harus sering instrospeksi terhadap diri
kita, amalan selama 24 jam yang sudah dikerjakan, dan pada malam hari kita
merenung apakah ada perubahan ke arah kebaikan atau tidak. Berapa amal
kebajikan yang kita telah perbuat, dan berapa kekurangan-kekurangan yang belum
dikerjakan. Ini harus selalu kita renungkan. Apabila sudah banyak amal
kebajikan, maka kita harus bersyukur kepada Allah, sedangkan kalau banyak
kekurangannya, maka kita harus minta ampun kepada Allah.
Sesudah
kita keluar 3 hari, sesudah kita keluar 40 hari, lihatlah apakah ada perubahan
dalam kehidupan kita ?. Apakah iman kita meningkat ?. Apakah amal kita
meningkat ?. Apakah keyakinan kita meningkat?. Apakah akhlak kita meningkat ?.
Apakah muamalat dan muasyarat kita meningkat ?. Apakah sifat ingin melayani
kita meningkat ?. Apakah tawadhu’ kita meningkat ?. Kita tengok dalam diri kita
sendiri. Apabila terjadi dalam perubahan kehidupan kita, maka akan terjadi
perubahan di seluruh alam.
Keputusan
Allah tidak kepada seluruh alam, tetapi keputusan Allah kepada pekerja agama
itu sendiri. Apabila si pekerja agama tadi berubah, maka dengan kodrat-Nya
Allah akan rubah seluruh alam ini. Bukan kita yang menyebarkan agama. Pemikiran
bahwa kita yang menyebarkan agama, harus kita keluarkan dari hati kita. Dan
kita masukkan pemikiran, bahwa yang menyebarkan agama adalah Allah SWT. Allah
Ta’ala akan menyebarkan agama, apabila terjadi perubahan hidup dalam diri kita.
Untuk itu, kita kerja agama ini dengan belajar. Sambil belajar, kita buat
kerja. Jangan mempunyai pikiran, kita sebagai orang alim yang mengerjakan
pekerjaan ini. Orang yang lebih tahu tentang usaha ini, itulah yang harus kita
tanya. Kepada syuro, atau syuro di tempat kita, itulah tempat kita bertanya.
Kemudian kita kerjakan dengan musyawarah, maka kita akan mendapatkan sifat
islah. Dengan bekerja kita sambil bertanya, maka kita akan mendapatkan sifat
islah.
Dengan
musyawarah kita mengerjakan usaha ini, itu juga namanya pengorbanan. Dengan
musyawarah, kita juga akan mendapat sifat ta’at. Apabila kita mengikuti
musyawarah, dan musyawarah itu salah, maka Allah akan memberikan ma’af. Apabila
kita tidak ikut keputusan musyawarah, kemudian terjadi kesalahan, maka Allah
akan memberi azab dan tidak mema’afkan. Kalau ini terjadi, maka islah tidak
akan kita dapatkan, dan syetan akan menduduki kita. Islah itu wajib, dan
berdebat itu haram. Orang yang selalu berdebat, maka dia tidak akan mendapatkan
sifat. Apabila da’i ada usaha untuk islah, maka Allah akan memberikan islah
pertama kali padanya, dan orang lainpun akan mendapatkan islah juga.
Untuk
mendapatkan islah, tidak hanya cukup dengan pengorbanan dan keletihan, tetapi
juga harus dengan do’a kepada Allah SWT. Kita do’akan nama-nama kawan kita
dengan menyebut namanya. Apabila kita mendo’akan kawan kita, maka malaikat akan
mendo’akan kita. Kemungkinan do’a kita tidak diterima oleh Allah, tetapi do’a
para malaikat pasti akan diterima oleh Allah. Maka kita harus jaga betul do’a
ini. Jangan lupa dengan do’a dan jangan lalai. Do’a adalah senjata bagi orang
mukmin. Dengan do’a, Allah akan senang kepada kita. Orang yang tidak mau
berdo’a, dia akan mendapat celaan dari Allah. Karena sama saja dengan tidak
ta’at kepada Allah. Untuk itu, kita harus selalu jaga do’a ini. Habis beramal
kita berdo’a. Habis membaca Al Quran kita berdo’a. Habis sholat kita berdo’a.
Habis jaulah kita berdo’a. Dan di akhir malam, pada saat orang lain tertidur
pulas, kita berdo’a kepada Allah. Apabila kita
selalu jaga do’a, maka segala macam keburukan yang ada di hati kita,
kedengkian, kebencian, dengan kodrat Allah akan dijauhkan semua keburukan
tersebut. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua. Amien.
Sifat
sabar, adalah sifat yang sangat penting. Seorang da’i harus mempunyai sifat
yang sabar dan tahamul. Para sahabat RA, telah mempunyai sifat sabar ini.
Apabila kita kerja dakwah dengan sabar dan tahamul, maka Allah akan hindarkan
dari segala kerugian. Apabila kita kerja ini dengan tidak sabar, maka kita
tidak akan dapat melakukan kerja dakwah ini. Ini adalah kerja-kerja para Nabi
AS. Dalam kerja ini, kita akan mengalami kekurangan nikmat-nikmat, dan
mendapatkan banyak kesusahan. Apabila kita kerja dengan sifat sabar dan
tahamul, maka Allah akan hindarkan kita dari kerugian-kerugian dan Allah akan
teguhkan kita dalam kerja ini.
Pada
suatu hari, ada seorang Arab Badui datang ke Masjid Rasulullah SAW dan dia
kencing dalam masjid. Para Sahabat marah dan berlari untuk menangkap orang
Badui tersebut. Rasulullah SAW mengatakan kepada para sahabat : “Jangan kamu buat apa-apa padanya”.
Setelah orang tadi selesai kencing, kemudian Rasulullah SAW datang kepada orang
tadi dan mengatakan : “Ini adalah rumah
Allah. Tempat ini untuk beribadah kepada Allah. Bukan untuk kencing dan
sebagainya”. Kemudian Rasulullah SAW meminta sahabat untuk mengambil air,
untuk membersihkan masjid itu. Melihat tindakan Rasulullah j tersebut, orang
Arab Badui itu pulang ke kampungnya, dan berkeliling kampung berdakwah dan mengumumkan: “Hai saudara-saudara saya telah datang ke
seseorang yang tidak memarahi saya, tidak menghina saya, tidak mencaci saya.
Dia adalah orang yang sangat baik, maka ikutilah perkataannya”. Dari
peristiwa ini, apabila Rasulullah SAW tidak bersabar, para sahabat tidak
bersabar, apakah akan datang kebaikan ?.
Selama
13 tahun, Rasulullah SAW di Mekkah memberikan pelajaran sabar kepada
sahabat-sahabatnya. Dengan sifat sabar ini, maka akan terbina iman. Dengan
sifat sabar, maka akan terbina akhlak. Dengan sifat sabar, kehidupan akan
berubah. Dalam suatu perjalanan, Rasulullah SAW melihat Ammar RA dipanggang di
bara api, dipegang oleh empat orang. Darah dan lemak-lemak Ammar yang menetes,
telah dapat memadamkan bara api tersebut. Pada saat itu, dia berteriak: “Ya Rasulullah, kapan datangnya pertolongan
Allah ?”. Maka Rasulullah SAW menjawab: “Kamu
bersabar, dan kamu akan mendapatkan sorga”. Inilah pelajaran sabar. Dengan
kesabaran inilah, maka akan terhindar dari kerugian-kerugian dalam kerja
dakwah.
Demikian
pula, kita kerja dakwah ini harus dengan perasaan syukur. Setiap
langkah-langkah yang dikerjakan, kita harus bersyukur kepada Allah. Setelah
mengerjakan amal, kita koreksi diri kita: “Ya
Allah, saya tidak dapat menunaikan amal ini dengan haq sesuai dengan yang
dikehendaki. Apabila ada kekurangan-kekurangannya, ya Allah ampunilah diri
saya”. Da’i harus senantiasa bersyukur kepada Allah dalam situasi apapun.
Dalam kesulitan, dalam kesusahan, harus selalu bersyukur. Setiap saat dan
keadaan, harus selalu bersyukur. Apabila kita selalu bersyukur, maka Allah akan
bukakan keuntungan dalam kerja ini. Apabila kita bersyukur, maka Allah akan
berikan dua keuntungan yang besar. Pertama,
amal itu akan diterima oleh Allah. Kedua,
Allah akan berikan istiqomah dalam amalan itu. Untuk itu, setiap saat dan
setiap keadaan, kita harus selalu bersyukur kapada Allah SWT. Dalam salah satu
ayat, Allah berfirman yang artinya antara lain: “Apabila kalian bersyukur maka akan Aku tambah nikmat-Ku dan apabila
tidak bersyukur maka akan datang azab-Ku”. Jadi kenikmatan dari Allah akan
dicabut, dan azab Allah akan datang, kepada orang yang tidak bersyukur. Untuk
itu, maka kita niatkan untuk berdakwah dengan sifat-sifat tersebut di atas.
Insya Allah. Kemudian kalau ada kekurangan-kekurangan, maka kita harus
bersihkan hati kita.
Apabila
karkun tidak bersatu, bagaimana akan dapat menyatukan seluruh dunia. Untuk itu,
yang pertama kita harus belajar kasih dan sayang. Apabila sifat cinta dan kasih
sayang tidak ada, maka pertolongan Allah tidak akan bersama kita. Apabila tidak
ada rasa cinta, maka tidak ada kemampuan untuk membuat kerja. Apabila tidak
bersatu, maka kita tidak akan dapat mempelajari kerja ini dan kerja ini tidak
akan terbuka untuk kita. Apabila tidak dengan cinta dan kasih sayang, maka kita
tidak akan dapat bermusyawarah. Untuk itu harus ada rasa cinta satu sama
lainnya. Kita harus saling melayani kepada setiap orang. Kita harus hargai
setiap orang. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua. Amien.