BAYAN ASHAR MAULANA SHAMIM DI MARKAZ INDONESIA, MASJID JAMI’ KEBON JERUK JAKARTA TANGGAL: 8 APRIL 2000


Alhamdulillah, dengan kasih sayang Allah SWT, dan dengan pertolongan Allah SWT, pada jaman ini masih kita diberikan kerja dan tanggung jawab oleh Allah SWT untuk mengerjakan suatu amalan yang mulia yaitu berdakwah. Kerja ini, adalah untuk seluruh alam. Rasulullah SAW dikirim ke muka bumi ini untuk seluruh alam, oleh karena itu maka kerja Beliau juga untuk seluruh alam. Dengan demikian, maka kita sebagai ummat Rasulullah SAW yang mengerjakan pekerjaan Beliau, juga dikirim untuk seluruh alam. Sebenarnya pekerjaan dunia yang kita kerjakan ini, hanya sekedar keperluan saja. Apa yang kita miliki di dunia ini yang sifatnya kebendaan, ini hanya untuk keperluan hidup saja. Sedangkan maksud hidup kita di dunia ini, adalah seperti maksud hidup Rasulullah SAW, yaitu dakwah illallah, mengajak seluruh manusia untuk ta’at kepada Allah SWT.

Usaha yang kita kerjakan di dunia ini yang sifatnya kebendaan, hanya untuk keperluan yang sangat sementara saja. Sebagai contoh, apabila kita kerja sebagai petani, maka hasil yang kita dapatkan hanya sebatas yang kita kerjakan yaitu sekali tanam hanya mendapatkan satu kali panen. Demikian pula, apabila kita kerja di toko, maka hasil yang kita peroleh dari toko tersebut, hanya sebatas usaha yang kita kerjakan. Apabila kita mencalonkan diri sebagai menteri, maka setelah terpilih kita hanya akan menjabat sebagai menteri satu kali saja. Dengan demikian, maka semua pekerjaan dunia yang kita kerjakan, hasilnya hanya sebatas yang dapat kita usahakan saja. Tetapi, kerja dalam dakwah ini, hasilnya tidak hanya satu kali saja. Pada saat kita masih hidup di dunia, pahala akan mengalir terus selama kita masih hidup. Sedangkan pada saat kita sudah meninggal, maka pahala masih akan Allah SWT berikan kepada buku amalan kita, dan pahala itu masih akan terus mengalir sampai ke anak cucu kita. Sehingga pada akhirnya, Allah Ta’ala akan memasukkan kita ke dalam sorga untuk selama-lamanya.

Kalau kita tengok kehidupan para sahabat RA, karena mereka mengerjakan dakwah, maka anak cucu mereka dipelihara oleh Allah seperti anak dan cucu para raja. Bahkan sampai saat ini, setelah 1.400 tahun sejak kehidupan para sahabat, keturunan mereka masih dipelihara oleh Allah Ta’ala dengan kasih sayang-Nya.

Pada suatu hari Nabi Khidir AS dan Nabi Musa AS, berjalan di suatu kampung. Di kampung tersebut, mereka mendapatkan bahwa orang-orang kampung itu, tidak menyambutnya dengan baik dan tidak melayani sebagaimana melayani tamu, tidak tawadhu’ kepada kedua Nabi Allah tersebut, mereka bedua dibiarkan saja. Malam hari mereka berdua menginap di kampung itu, dan keesokan harinya ditinggalkannya kampung tersebut. Setelah keluar kampung, di tepi kampung itu ada sebuah dinding yang akan runtuh. Nabi Khidir AS kemudian memperbaiki dinding itu supaya tidak runtuh. Musa AS kemudian bertanya : “Wahai Khidir, untuk apa kau perbaiki dinding tersebut ?. Orang kampung ini, tidak menghormati kita, tidak melayani kita, tidak tawadhu’ kepada kita, mengapa kau bersusah payah memperbaiki dinding kampung ini ?”. Dijawab oleh Khidir AS: “Wahai Musa, di kampung itu ada seorang anak yang mana kedua orang tuanya adalah orang-orang yang sholeh. Orang tua itu, meninggalkan harta warisan kepada anaknya yang terletak di bawah dinding itu. Kalau dinding itu roboh, maka anak tersebut tidak akan mendapatkan harta peninggalan orang tuanya”. Dari kisah ini, dapat ditarik suatu pelajaran, bahwa kedua orang tua tersebut yang telah berbuat baik untuk diri mereka sendiri yang berbuat amal sholeh, maka Allah SWT telah jaga anak-anak mereka, melalui tangan Khidir AS. Allah Ta’ala telah pelihara anak-anak mereka.

Dari pelajaran ini, maka apabila kita saat ini menyebarkan kebaikan-kebaikan di muka bumi ini, maka Allah Ta’ala akan jaga kita dan anak keturunan kita. Dengan mengajak manusia agar supaya ta’at kepada Allah SWT, maka di dunia ini anak-anak keturunan kita akan dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT, sedangkan di akhirat nanti kita sendiri akan dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT.

Azas dakwah yang pertama adalah yakin kepada Allah SWT. Pada saat kita berjuang keluar di jalan Allah, maka langkah pertama dan langkah terakhir yang harus kita kerjakan adalah membenarkan keyakinan kepada Allah SWT.  Dan inilah azas dakwah. Dengan kerja dakwah ini, Allah SWT telah memuliakan para Anbiya AS. Allah SWT telah meninggikan derajat mereka, telah mengangkat mereka, telah mensukseskan mereka. Demikian pula karena kerja dakwah ini, Allah SWT telah memuliakan dan memberikan kejayaan serta kesuksesan kepada para Sahabat RA, para Auliya dan para Wali. Begitu pula, apabila kita kerja dakwah, maka Allah SWT akan memberikan kemuliaan, kesuksesan, seperti yang telah diberikan kepada para Ambiya, para Sahabat, para Auliya dan para Wali. Tidak ada perbedaan terhadap manusia yang mengerjakan dakwah termasuk kita, Allah SWT telah janjikan kemuliaan serta keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah masalah yang haq, tidak ada keragu-raguan lagi terhadap janji-janji Allah SWT tersebut, apabila kita kerja dakwah maka Allah Ta’ala akan memelihara kita dan memuliakannya di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, dalam kerja dakwah ini janganlah memandang terhadap asbab yang ada pada diri kita, jangan terkesan kepada asbab kita, jangan memandang asbab kita dan jangan memandang kepada orang-orang kaya. Janganlah tergantung kepada asbab yang ada pada diri kita, tetapi tergantunglah kepada kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, apabila seorang da’i  berpaling dari Allah SWT, maka akan sangat berbahaya bagi da’i tersebut.

Dalam Al Quran Allah SWT berfirman yang mahfumnya adalah : “Hai Muhammad, katakanlah kepada mereka, inilah jalan-Ku yaitu mengajak manusia kepada Allah, dengan keyakinan”. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW tidak mengakan “ini kerjaku” atau ini “kerjaku dengan Abu Bakar” atau ini “kerjakan dengan Umar” atau ini “kerjaku dengan para sahabat”. Tetapi, dikatakan: “saya dan pengikut saya” yang berarti dengan seluruh ummatnya termasuk kita yang hidup sekarang ini. Dengan kerja ini, Allah SWT telah memuliakan dan memberikan kesuksesan kepada Rasulullah SAW yang berarti kalau kita ikut mengerjakannya, maka kita juga akan mendapatkan kemulian dan kesuksesan dari Allah SWT.

Oleh karena itu, yang pertama kali harus kita sadari adalah bahwa kita ini adalah ummat Rasulullah  SAW. Jangan kita katakan bahwa : “Saya adalah suami sang isteri” atau “Saya adalah ayah dari anak-anak” atau “Saya adalah ummat negeri ini”. Tetapi yang harus kita sadari pertama kali: “Saya adalah ummat Rasulullah  SAW”. Setiap langkah yang akan kita kerjakan, apakah itu kita akan makan, minum, berpakaian, bepergian dan lain-lainnya yang harus kita ingat pertama yaitu: “Kita adalah ummat Rasulullah  SAW. Sedangkan yang harus diperhatikan lagi, janganlah kita menengok kerja manusia-manusia lainnya, tetapi lihatlah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah  SAW.

Pada jaman sekarang ini, apabila kita buat kerja dakwah ini dengan segala keyakinan yang benar, dan mengatur kehidupan kita dengan keyakinan yang benar, maka pertama kali yang Allah SWT akan  kerjakan adalah memuliakan kita. Namun demikian, salah satu kesalahan yang sering dikerjakan oleh da’i pada saat dia mengerjakan dakwah, adalah hanya sekedar mengambil berkahnya saja, hanya sekedar mengharapkan pahala saja, dan tidak mempunyai niat, tekad atau fikiran bahwa kerja dakwah ini adalah maksud hidup saya. Janganlah usaha dakwah ini hanya sekedar untuk mencari berkah atau mendapatkan pahala saja, tetapi jadikanlah kerja ini sebagai maksud hidup. Apabila hal ini kita niatkan dengan benar, maka Allah SWT tidak hanya akan memberikan keberkahan dan pahala saja, tetapi juga akan memuliakan kita di dunia dan memuliakannya di akhirat untuk selama-lamanya dan dimasukkannya ke dalam sorganya Allah SWT yang paling tinggi.

Kelompok manusia yang paling tinggi kedudukannya di mata Allah SWT, adalah mereka yang menyebarkan agamanya Allah SWT. Sebagaimana para Anbiya AS, mereka adalah manusia yang tertinggi dan dimuliakan oleh Allah SWT, demikian pula kedudukan para Sahabat AS juga tinggi dan mulia. Para sahabat baik dari kelompok Muhajirin dan Anshor, juga mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia, karena mereka menjadikan dakwah sebagai maksud hidup mereka. Untuk manusia yang mengerjakan dakwah, maka Allah akan berikan kedudukan yang mulia di dunia dan kedudukan yang tinggi di akhirat nanti.

Sedangkan kelompok manusia yang kedua, adalah mereka yang beramal sholeh, tetapi tidak mengerjakan dakwah. Orang-orang ini bukan termasuk yang tertinggi dan juga tidak yang termulia. Memang kelompok manusia ini, nantinya di akhirat akan dimasukkan ke dalam sorganya Allah SWT. Tetapi, apabila di dunia Allah SWT menurunkan azab kepada orang-orang kafir atau orang-orang yang ingkar dan berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, maka kelompok kedua yaitu manusia sholeh yang tidak berdakwah tadi, juga akan terkena azab tersebut.

Allah SWT telah menjadikan kita sebagai da’i. Sebagai da’i kerja kita adalah dakwah. Dakwah inilah kerja kita yang sebenarnya. Oleh karena itu, pada waktu kita kerja di dunia kita juga berdakwah, waktu mengajar kita juga berdakwah, waktu belajar kita juga berdakwah, waktu ke toko kita juga berdakwah, waktu ke kantor kita juga berdakwah, waktu ke sawah kita juga berdakwah, dan seluruh aspek kehidupan kita baik muamalat maupun muasyarat  tak terlepas dari kerja dakwah. Apabila seluruh ummat ini kerja dakwah dan dimanapun dia berada selalu berdakwah, maka agama akan tersebar ke seluruh alam. Tetapi, apabila ummat ini meninggalkan kerja dakwah, maka ummat ini akan menderita kerugian, yaitu agama akan keluar dari kehidupan mereka. Sedangkan kalau ummat ini mengerjakan dakwah, maka akan mendapatkan tiga manfaat, yaitu : Dengan dakwah, Islam akan tersebar ke seluruh dunia. Dengan kerja dakwah, pertolongan Allah SWT akan datang untuk ummat. Dengan kerja dakwah, nidhomul ghoib Allah akan diturunkan kepada orang yang mengerjakan dakwah tersebut. Apabila ketiga manfaat ini sudah terwujud, maka Allah akan memberikan manfaat satu lagi kepada para pekerja dakwah tersebut, yaitu do’a-do’a mereka akan diterima oleh Allah SWT.

Apabila ummat ini tetap mengerjakan dakwah, dan mereka menjadikan dakwah sebagai maksud hidupnya, maka para ahli bathil akan mendapat naungan dari kerja para da’i tersebut. Orang-orang ahli bathil, akan dengan mudah mengikuti kehendak ummat ini. Namun demikian, seandainya ummat Islam meninggalkan dakwah, maka Islam tidak akan tersebar lagi dan tertutup pula penyebaran agama Islam dan inilah kerugian-kerugian yang akan diderita oleh ummat. Kerugian berikutnya, Islam akan keluar dari kehidupan ummat ini.

Pada saat ummat Islam hanya mengerjakan sholat saja, dzikir saja, dan meninggalkan kerja dakwah, maka Islam akan keluar dari kehidupan ummat ini dan do’a-do’a mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Kalau kerja dakwah ditinggalkan, maka wali-wali Allah SWT akan ikut orang-orang ahli bathil. Untuk itu, marilah kita jadikan dakwah ini sebagai kerja kita dan sebagai maksud hidup kita, seperti yang telah dikerjakan oleh para wali-wali Allah SWT yang terdahulu, sehingga pertolongan Allah SWT akan bersama dengan kita. Dengan dakwah ini, akan dapat mengatasi segala permasalahan yang sedang kita hadapi. Untuk itu, kita harus kerjakan dakwah ini dengan penuh keyakinan.
Dalam mengerjakan dakwah ini, kita harus penuh dengan rasa tawadhu’. Di dalam kerja dakwah ini, Allah SWT telah letakkan kebesaran-kebesaran, kemuliaan-kemuliaan, dan keagungan-keagungan. Oleh karena itu, dalam mengerjakan dakwah ini, jangan ada rasa sombong dalam hati kita. Jangan menilai diri kita lebih baik dari orang yang lainnya, karena apabila sifat ini muncul di hati kita, maka Allah SWT tidak akan memandang diri kita lagi.

Allah SWT berfirman dalam Al Quran yang kurang lebih artinya: “Adakah sesuatu perkataan yang lebih baik, yang mengajak manusia kepada Allah dan beramal sholeh”. Jadi apabila seorang da’i mengerjakan dakwah, maka apa yang dia dakwahkan harus dia kerjakan lebih dahulu. Apabila dia mendakwahkan suatu amalan, maka amalan tersebut harus ada pada diri dia dulu. Apabila dia mendakwahkan akhlak, maka akhlak harus ada pada diri dia dulu. Demikian pula dalam mendakwahkan amal–amal muasyarat yang lain, maka hal ini harus ada pada diri dia terlebih dulu. Apabila ini terjadi, maka apa yang kita dakwahkan akan mengesankan orang lain yang didakwahi. Pada saat orang lain terkesan, maka diri kitapun akan ikut terkesan dengan dakwah yang kita kerjakan. Sedangkan apabila kita berdakwah, sedangkan diri kita tidak melaksanakan apa yang kita dakwahkan tersebut, misalnya kita dakwah tentang amalan tetapi kita tidak melaksanakan amalan itu, kita dakwah tentang akhlak tetapi kita  tidak punya akhlak, maka orang lain tidak akan terkesan dengan dakwah kita dan diri kita juga tidak akan terkesan dengan dakwah itu sendiri.

Pada dasarnya, dakwah ini bukan untuk orang lain. Azas dari dakwah ini, adalah untuk diri kita sendiri. Oleh karena itu, pada saat kita berdakwah, maka niat yang paling utama adalah untuk diri sendiri. Dengan pola pemikiran dan cara semacam ini, maka Allah SWT akan memberikan taufiq, Allah SWT akan memberikan kekuatan kita untuk beramal dan ini dampaknya akan sangat mengesankan diri kita sendiri, yang pada gilirannya akan mengesankan orang lain yang kita dakwahi.

Untuk itu, pada saat kita berdakwah dengan niat yang benar, maka Allah SWT akan mengikut sertakan orang lain dalam amalan-amalan kita. Allah SWT akan memberikan hidayah kepada orang lain, untuk mengikuti kerja dakwah yang kita lakukan. Sedangkan apabila mereka menolak dakwah kita, maka Allah SWT akan menghancurkan mereka.

Dalam kerja dakwah ini, harus kita imbangi dengan rasa tawadhu’. Kita menyebar ke seluruh alam untuk berdakwah, namun dengan sifat-sifat yang tidak congkak. Bahkan, kita harus sampaikan kepada orang-orang yang kita dakwahi tersebut, bahwa sebenarnya “kami sama dengan kalian”. Sebagaimana kaum muslimin yang lain, kita tidak ada bedanya. Rasulullah SAW, bersabda: “Barangsiapa yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah SWT akan tinggikan derajatnya. Dan barangsiapa takabur atau sombong di hadapan Allah SWT, maka Allah akan hinakan dia dan akan menjatuhkannya”.

Sekali lagi, laksanakan dakwah ini dengan rasa tawadhu’ dan tidak sombong. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada waktu masuk kota Mekkah pada saat hari kemenangan, atau pada saat terbukanya kota Mekkah yang mana Rasulullah SAW masuk kota itu dengan tentara-tentaranya, Beliau SAW tundukkan kepalanya bahkan sampai perut Beliau SAW hampir menempel di punggung ontanya. Padahal, Rasululllah SAW adalah orang yang mulai karena kerja dakwah, tetapi memasuki kota Mekkah yang telah ditundukkannya dengan rasa yang tawadhu’. Pada waktu itu, salah seorang pimpinan Anshor yang di tangannya ada bendera, dia katakan: “Hari ini adalah hari pembalasan”. Mendengar ucapan tersebut, kemudian Rasulullah SAW turun dari ontanya, dan diambilnya bendera yang sedang dipegang oleh sahabat tadi, sambil berkata : “Engkau tidak layak menjadi pimpinan. Hari ini bukanlah hari pembalasan, tetapi hari kasih sayang kepada ummat manusia”. Setelah bendera berada di tangan Rasulullah SAW kemudian diberikan kepada anak sahabat tadi. Inilah sifat tawadhu’ dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kita harus mencontoh teladan yang telah diberikan oleh Baginda Rasulullah SAW, melakukan dakwah dengan tawadhu’ dan penuh dengan cinta serta kasih sayang kepada manusia yang lain.

Apabila dakwah ini tidak kita lakukan dengan mahabah, dengan cinta dan kasih sayang, maka yang akan terjadi adalah kerugian-kerugian, dan Allah SWT tidak berikan kepahaman kita terhadap usaha dakwah, kemudian kita juga dijauhkan dari kenikmatan-kenikmatan besar yang datangnya dari Allah. Kerja dakwah ini, adalah kerja yang besar, kerja yang penuh dengan keberkahan. Untuk itu, kita harus sering instrospeksi terhadap diri kita masing-masing. Kita lihat kesalahan-kesalahan apa yang sudah kita perbuat, dan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh orang lain itu juga disebabkan karena kesalahan kita sendiri.

Allah SWT telah menggunakan seumur hidup Maulana Ilyas Rah.A, untuk kerja dakwah. Seluruh harta-hartanya habis untuk kerja dakwah. Pada suatu saat, beliau pergi ke salah satu kota di India yang bernama Lucknow. Di tempat itu, beliau diundang oleh seorang Bupati yang kaya raya di wilayah itu, untuk sarapan pagi. Untuk keperluan itu, orang tadi mengutus pembantunya, menyampaikan undangan ke Maulana Ilyas. Pembantu itu, mengatakan kepada Maulana Ilyas : “Tuan, diundang oleh majikan saya untuk sarapan pagi pukul 09.00”. Padahal, undangan orang tersebut sebenarnya pukul 08.00, bukan pukul 09.00. Karena undangan dikatakan pukul 09.00, maka Maulana Ilyas datang tepat pada pukul 09.00. Sedangkan ulama-ulama lain yang diundang orang tadi, sudah datang terlebih dahulu, yaitu pukul 08.00, karena memang undangan yang disampaikan juga pukul 08.00. Lantaran Maulana Ilyas datang pukul 09.00, sesuai dengan waktu yang disampaikan oleh pembantu orang tadi, maka beliau telah terlambat satu jam. Oleh karena itu, maka Maulana Ilyas dicaci maki di hadapan para undangan lainnya, oleh bupati si pengundang tersebut. Dikatakannya: “Engkau telah buat kerja yang besar, tetapi pada saat menghadiri undangan engkau tidak datang tepat pada waktunya. Kemana ummat ini akan engkau bawa ?”. Mendengar cacian ini, Maulana Ilyas diam saja. Tidak menjawab sepatah katapun. Setelah acara makan pagi selesai, maka Maulana Ilyas pulang kembali ke New Delhi dengan menggunakan kendaraan kereta api.

Pada malam hari, di rumah orang Bupati tersebut, saat dia akan tidur, dipijit-pijitlah kepalanya oleh pembantu yang menyampaikan undangan ke Maulana Ilyas. Dia berkata: “Wahai tuan, sebenarnya bukan Maulana yang salah. Sayalah yang salah, karena menyampaikan kepada Maulana undangan pukul 09.00. Sayalah yang salah menyampaikan waktu undangan tersebut kepada Maulana. Dan Maulana ternyata datang tepat pada waktunya”. Mendengar tutur kata pembantunya tadi, Bupati itu gelisah sepanjang malam sampai pagi. Setelah pagi tiba, maka diajaknya seluruh undangan yang hadir pada acara makan pagi tersebut ke New Delhi, untuk menemui Maulana Ilyas. Sampai di New Delhi dan berjumpa dengan Maulana Ilyas, Bupati tadi minta ma’af kepada Maulana disaksikan oleh seluruh undangan yang pernah mendengarkan caci maki Bupati kepada Maulana Ilyas. Menyadari kesalahannya, Bupati tadi menangis dan menangis, sehingga Maulana Ilyas ikut menangis. Mengapa saling menangis ?. Karena Bupati telah menyadari kesalahannya dan Maulana juga merasa bahwa itu juga karena kesalahannya sendiri.

Sebagai da’i kita harus bersikap tawadhu’, dan selalu mengakui kesalahan sendiri serta merasa bahwa kesalahan orang lain juga karena kesalahan kita sendiri. Sebagai da’i harus berani mengakui : “Karena dosa yang saya perbuat, maka orang lain berbuat seperti itu. Bukan salah dia, tetapi salah saya”.

Sebagai da’i, kita harus selalu khusnudhon atau berbaik sangka kepada orang lain. Harus selalu kita tanamkan baik sangka ini, kepada orang lain. Sedangkan kepada diri sendiri, harus ditanamkan su’udhon atau buruk sangka. Jadi, baik sangka untuk orang lain dan buruk sangka untuk diri sendiri. Apabila kita dapat melakukan hal yang demikian, maka Allah SWT akan pilih kita sebagai da’i-Nya. Jangan salahkan mereka, tetapi salahkan diri sendiri. Kalau sifat-sifat semacam ini telah tertanam pada diri kita, maka akan dapat dicapai kesatuan hati. Sedangkan kalau kita selalu berburuk sangka kepada orang lain, maka hasilnya akan timbul perpecahan di mana-mana, dan kesatuan hati sulit dicapai.

Maulana Yusuf Rah.A berkata:  “Di dalam keburukan orang lain, carilah kebaikannya. Di dalam kebaikan itulah namanya akhlak. Sedangkan dalam kebaikan kita sendiri, kita cari keburukannya dan itulah yang namanya ikhlas”. Untuk itu, hendaknya kita selalu melihat kebaikan-kebaikan orang lain, sementara itu untuk diri pribadi harus kita lihat keburukan-keburukannya. Sehingga dengan cara ini, maka akan timbul sikap memuliakan dalam diri kita. Kemudian kita memuliakan sesama karkun atau orang lain, sehingga kesatuan hati dapat dicapai dan kerja akan naik, serta kawan kita akan mampu untuk membuat kerja dakwah ini. Apabila kita hanya menghendaki orang lain untuk memuliakan kita, untuk menghormati kita, maka yang akan terjadi adalah kerugian-kerugian. Bahkan akan timbul permusuhan terhadap diri kita. Dan syetan selalu mencoba untuk menggiring kita ke jalan yang sesat ini. Syetan akan membisiki kita: “Masya Allah kamu ini karkun lama. Kamu sudah berkali-kali keluar 40 hari. Kamu ini lebih mulia dari dia, dan dia itu tak ada apa-apanya bagi kamu”. Maka kita berusaha duduk di alas makan (suprah), untuk dilayani makanan. Inilah godaan syetan. Syetan masih terus menggoda dengan bisikannya: “Kamu ini orang lama, sudah sepantasnya menjadi ahli syuro. Lihat tuh, orang baru saja sudah ditunjuk menjadi syuro, padahal engkau orang lama yang lebih berhak menjadi syuro”. Syetan berusaha merusak hati kita, dengan berbagai tipu dayanya, sehingga kita merasa menjadi orang lama, orang yang sudah banyak berkorban dan sudah pantas diangkat menjadi syuro. Pada saat kita digoda syetan semacam ini, maka kita harus mengambil sikap tegas agar tidak tergoda dengan bujukan syetan dan mengatakan pada diri sendiri: “Karena ikhsan-Nya Allah saya dapat keluar di jalan Allah, padahal saya mempunyai banyak dosa-dosa di masa lalu. Karena kemurahan Allah, saya dapat keluar di jalan Allah, bukan karena kepandaian saya, padahal dosa-dosa yang telah kita buat banyak sekali”. Pikiran semacam ini harus kita tanamkan betul di hati kita. Sementara itu, kita harus mengatakan pula pada diri sendiri, bahwa pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat oleh orang lain, disebabkan Allah yang telah memberikan kasih sayang-Nya, dan Allah-lah yang memajukan serta memuliakan mereka. Dan kita do’akan semoga Allah lebih meningkatkan derajat mereka.

Keinginan diri kita agar dimuliakan oleh orang lain, dihormati oleh orang lain atau kawan yang lainnya, ini jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan keinginan untuk memiliki harta kekayaan. Harta ini akan habis, apabila kita korbankan atau kita buat untuk mujahadah, sehingga akan habis atau lenyap dari hati kita kebesaran benda-benda tersebut. Sedangkan kalau kita minta dimuliakan dan minta dihargai atau dihormati, ini tidak akan habis atau lenyap, meskipun kita sudah berkorban dan bermujahadah. Semoga Allah SWT menjaga kita, dari keinginan-keinginan buruk tersebut. Amien.

Untuk mengerjakan dakwah ini, kita harus merasa kecil, sehingga Allah SWT akan menjaga kita dan Allah Ta’ala akan menaikkan derajat kita, serta Allah akan memberikan kejayaan kepada kita.

Kerja ini, adalah kerja ijtimai. Untuk melestarikan agar kerja dengan cara ijtimai ini tetap berjalan, adalah suatu hal yang sangat penting sekali. Kerja ijtimai ini harus tetap kita lakukan, meskipun badan kita letih, harta kita habis, tetapi tetap saja kita harus mengusahakan agar kerja ini tetap dengan cara ijtimai. Agar supaya cara kerja ijtimai ini tetap dapat kita pertahankan, maka kita harus mempunyai tiga sifat. Pertama, harus dihindarkan prasangka buruk kepada orang lain. Kedua, jangan mencari aib orang lain. Ketiga, pada saat kita melihat aib orang lain, maka jangan dibicarakan kepada orang yang lainnya lagi. Apabila ketiga perkara ini dapat kita jaga dengan baik, maka Allah SWT akan pelihara kerja dengan cara ijtimai ini, dan kerja ini akan menjadi kerja yang lestari.
Dengan kerja yang penuh mubarak, kerja yang penuh berkah ini, maka kita harus lakukan dengan penuh mujahadah. Mujahadah adalah ruh dari kerja ini. Mujahadah adalah ruh daripada Islam. Mujahadah telah dihabiskan oleh musuh kita, sehingga Islam keluar dari diri kita. Apabila ummat ini tetap dalam kondisi mujahadah, maka Islam akan tersebar. Tetapi kalau musuh-musuh kita membawa kita dalam kondisi yang penuh kenyamanan, keenakan, banyak istirahat, maka Islam akan keluar dari kehidupan ummat ini, sehingga tidak ada ruh lagi pada ummat Islam. Dalam kerja yang besar ini, setiap saat kita harus siap untuk bermujahadah. Apabila kita siap bermujadah, maka kapan saja dan dalam keadaan bagaimanapun kita akan mudah mengerjakan usaha dakwah.

Apakah yang dimaksudkan dengan mujahadah ?. Mujahadah adalah sesuatu yang berlawanan dengan nafsu. Kita kerjakan seluruh perintah-perintah Allah SWT, dan caranya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Itulah yang disebut mujahadah. Sekarang ini, kita tidak mujahadah lagi. Karena mujahadah itu sebenarnya ada empat perkara. Pertama, sesuatu yang berlawanan dengan nafsu kita. Kedua, menunaikan perintah Allah SWT dan kita sempurnakan perintahnya Allah. Ketiga, kita kerjakan sesuai dengan cara Rasulullah SAW. Keempat, ridho karena Allah, kita kerjakan usaha ini semata-mata karena Allah. Kalau kerja dakwah ini kita kerjakan dengan keempat masalah ini, maka inilah yang disebut mujahadah.

Pada suatu saat kita dimusyarahkan. Kita niat keluar 4 bulan. Hasil musyawarah, kita diputuskan pergi ke Jepang. Padahal, dalam hati kita menginginkan agar diputuskan untuk pergi ke India dan Pakistan. Ini berlawanan dengan nafsu. Apabila kita tekan nafsu kita, kemudian mengerjakan takazah agama tersebut pergi ke Jepang dengan empat perkara yang tersebut di atas, inilah yang disebut mujahadah. Pada saat itulah Allah akan memberikan keputusan-Nya untuk memberikan hidayah kepada kita, dan juga hidayah kepada orang-orang di negara yang kita datangi.

Dengan hasil musyawarah bahwa kita diputuskan ke negara lain, janganlah kita berburuk sangka kepada ahli syuro dengan pikiran: “jangan-jangan ada orang yang berbisik-bisik kepada ahli syuro, supaya saya dikirim ke negara lain yang bukan negara yang saya kehendaki”. Berfikirlah bahwa hasil musyawarah tersebut adalah keputusan Allah dan ini semua datang dari Allah SWT. Berfikirlah bahwa kita kerja ini semata-mata hanya mengharapkan ridho dari Allah, bukan karena syuro tetapi karena Allah . Dengan berfikir semacam ini, maka Allah Ta’ala akan memberikan hidayah kepada kita. Insya Allah.

Apabila kita keluar di jalan Allah, kemudian kita tahan hawa nafsu kita dengan mujahadah, maka Allah akan memuliakan kita. Misalnya, dalam perjalanan 3 Km, sebenarnya jarak ini dengan mudah kita lalui dengan menggunakan kendaraan dan akan cepat sampai ke tempat tujuan. Jarak tersebut kita tempuh dengan jalan kaki. Ini berlawanan dengan nafsu, karena harus melakukan kerja yang lebih berat. Meskipun demikian, kita kerjakan pekerjaan tersebut dengan jalan kaki, melawan hawa nafsu, inilah yang namanya mujahadah. Dengan mujahadah  semacam ini, Allah SWT akan membuka kepahaman kita tentang usaha dakwah. Sesuatu yang menjadi beban kita, kemudian kita dapat melawannya, itulah yang disebut mujahadah. Sedangkan apa yang telah kita kerjakan, kemudian kita berusaha untuk meningkatkannya lagi, itulah namanya pengorbanan.

Apabila kita meluangkan waktu tiga hari setiap bulan, kemudian jaulah setiap minggu, ini namanya bukan mujahadah. Tetapi, apabila kita meningkatkan apa yang telah kita kerjakan, itu namanya pengorbanan. Kemudian kita tingkatkan pengorbanan tersebut terus menerus, maka Allah SWT akan memberikan kepahaman kepada  kita terhadap usaha dakwah ini. Apabila kerja ini sudah menjadi kebiasaan atau sudah menjadi adat kita, ini namanya juga bukan pengorbanan dan bukan mujahadah. Karena itu tinggal menyempurnakan saja. Dan ini tidak akan menyebabkan sebab turunnya hidayah, sebab hal ini sudah rutin kita kerjakan dan sudah menjadi adat istiadat, sehingga maksud tujuan kita tidak tercapai. Misalnya, kita sudah putuskan bahwa setelah sholat Ashar akan dilakukan jaulah. Kemudian pada saat itu, kita kedatangan tamu  yaitu seorang paman atau sanak famili di rumah kita. Karena ada tamu, maka kita tinggalkan jaulah kita. Apabila ini kita lakukan untuk menghormati tamu tersebut dan meninggalkan jaulah, maka untuk selama-lamanya jaulah kita tidak akan mempunyai ruh. Tetapi, kalau kita katakan kepada tamu kita: “Tuan berbicaralah 3-4 menit, kami akan ada jaulah dan sebentar lagi saya akan pergi jaulah”. Kemudian kita minta anak-anak kita untuk melayani tamu tersebut, maka inilah yang disebut pengorbanan. Apabila kita lakukan semacam ini, kita tetap jaulah dan tidak terkesan atas kedatangan tamu tersebut, maka kita akan mendapatkan hakekat dari jaulah itu sendiri. Tetapi, apabila kita terkesan dengan tamu, kita layani tamu itu, duduk-duduk dengan tenang dengan tamu itu, kita tinggalkan jaulah kita, maka seumur hidup kita mengerjakan jaulah tidak akan mendapatkan hakekat dari jaulah tersebut.

Dalam kerja ini, yang penting adalah membuat pengorbanan. Bukan jaulah maksudnya, bukan 3 hari maksudnya, bukan 40 hari maksudnya, tetapi maksudnya adalah pengorbanan. Apabila pengorbanan telah terwujud, maka pengorbanan tersebut akan menjadi sebab turunnya hidayah bagi da’i yang bersangkutan. Bukan usaha-usaha lain yang dapat menurunkan hidayah, tetapi pengorbanan yang dapat menjadi sebab turunnya hidayah.

Misalnya, kita sudah menentukan waktu keluar 3 hari yaitu minggu ini, atau katakanlah minggu yang pertama. Tiba-tiba pada saat waktu yang sudah ditentukan, ibu kita sakit keras bahkan hampir mati. Kalau kita bawa dalam musyawarah, orang-orang akan mengusulkan : “Jangan kamu keluar minggu ini. Sebaiknya kamu keluar minggu depan saja. Kerja ini adalah kerja seumur hidup kita. Kapan lagi kamu akan berjumpa dengan ibumu ?”. Dalam kondisi semacam ini, kata Maulana Yusuf Rah.A, apabila kita tetap saja keluar di jalan Allah, maka dapat kita buktikan bahwa diri kita ini sebenarnya bukan milik siapa-siapa, tetapi milik Allah dan Rasul-Nya. Di sisi lain Beliau katakan, apabila kita menunggu ibu kita yang sedang sakit dan membatalkan keluar di jalan Allah, kalau Allah sudah takdirkan ibu itu akan mati, maka tetap akan mati meskipun kita jaga dan kita rawat dengan baik. Namun demikian, kalau kita tetap saja keluar di jalan Allah dengan meninggalkan ibu yang sedang sakit tersebut, kemudian ibu itu mati pada saat kita sedang keluar, maka pengorbanan ini dapat menjadikan sebab Allah SWT memberikan ampunan untuk ibu kita.

Inilah yang disebut sebagai pengorbanan. Sebagaimana Allah perintahkan kita untuk sholat fardhu lima kali sehari semalam. Allah dapat saja, memerintahkan kita untuk sholat hanya satu kali saja. Tetapi mengapa Allah perintahkan lima kali dalam sehari?. Hal ini dimaksudkan oleh Allah, agar kita melakukan pengorbanan. Pada saat kita dapat meninggalkan dunia kita, kemudian menuju kepada Allah melaksanakan perintah sholat, maka pengorbanan ini akan dapat menjadikan kita dimuliakan oleh Allah SWT. Dan Allah akan memberikan penghargaan kepada kita, atas pengorbanan yang kita lakukan itu. Oleh karena itu, dalam kehidupan 24 jam kita sehari semalam, harus kita tengok apakah ada peningkatan pengorbanan dalam rentang waktu tersebut ?. Kita juga mengharapkan agar kawan-kawan kita juga meningkatkan pengorbanan. Apabila kita tingkatkan pengorbanan-pengorbanan tersebut, maka Allah SWT akan memberikan hidayah ke seluruh alam.

Kita tahu ada tertib-tertib dalam usaha dakwah ini. Mengikuti tertib-tertib tersebut, adalah tindakan yang baik. Namun demikian, dengan mengikuti tertib-tertib itu memang agama akan ada pada diri kita, tetapi tidak menyebabkan tersebarnya agama ini. Dengan pengorbanan itulah, agama akan tersebar di seluruh dunia. Di samping kita harus mengikuti tertib-tertib, kita harus juga menyambut takazah-takazah (tugas/kerja agama) yang lain. Dengan mengikuti tertib dan menyambut setiap takazah, inilah yang disebut pengorbanan. Apabila pengorbanan terwujud, maka Allah SWT akan memberikan hidayah kepada manusia. Tertib adalah penting, karena dengan tertib itu kita telah mengislahkan diri kita. Untuk kepentingan pribadi, nisob dan lain sebagainya, perlu hendaknya menjaga tertib dengan baik. Namun pengorbanan harus diutamakan, karena inilah yang menyebabkan agama tersebar ke seluruh alam.

Untuk itulah, kerja ini adalah kerja yang berkesinambungan, kerja yang langgeng, kerja yang terus menerus. Kerja bukan hanya 1 hari, 3 hari, 40 hari, 4 bulan atau 1 tahun saja, tetapi kerja ini adalah untuk seumur hidup kita. Oleh karena itu, 40 hari atau 4 bulan ini, pada dasarnya hanya untuk belajar saja. Belajar untuk mendapatkan sifat kasih sayang, belajar untuk dakwah, belajar untuk melayani. Sedangkan maksud dan tujuannya adalah agar kerja ini, menjadi kerja kita seumur hidup.

Da’i ini diibaratkan seperti matahari. Matahari memberikan sinar dan bermanfaat untuk keperluan manusia di seluruh muka bumi. Apabila da’i mempunyai sifat seperti mataharti, maka dia dapat memberikan sinar dan menjadi sebab turunnya hidayah ke seluruh alam. Bagaimana sifat matahari ?. Pertama, matahari keluar tepat pada waktunya dan keluar dengan nur atau cahaya. Kedua, matahari keluar tidak terlambat, satu menitpun tidak terlambat, tidak kecepatan dan juga tidak lambat, selalu tepat waktu. Demikian pula da’i, keluar harus tepat pada waktunya, dan keluar dengan nur hidayah. Misalnya, seluruh pencuri kumpul, seluruh perampok kumpul dengan tujuan untuk mencegah terbitnya matahari, supaya mereka bisa berbuat kejahatan terus di malam hari, apakah mereka mampu menahan keluarnya matahari ?. Mereka tidak akan mampu untuk menahan terbitnya matahari. Demikian pula, apabila da’i tetap keluar pada waktunya, meskipun ada hambatan, ada rintangan, tetapi tetap saja da’i tersebut keluar di jalan Allah pada saatnya untuk keluar, dia tinggalkan seluruh permasalahan yang sedang dihadapinya, maka dengan pertolongan Allah, dengan kodrat Allah akan Allah selesaikan masalah-masalah yang dia hadapi, dan da’i tersebut dapat menjadi sebab tersebarnya hidayah di permukaan bumi, tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Timbullah cahaya yang terang dan kegelapan akan sirna. Sepertinya halnya matahari, begitu terbit dia akan memancarkan sinarnya dan menerangi permukaan bumi, tanpa dapat dicegah. Dengan demikian, kalau da’i keluar di jalan Allah, maka dia dapat menerangi atau memberikan cahaya kepada orang lain.

Sifat kedua dari sifat matahari berikutnya adalah dia terus berjalan, tidak pernah berhenti walaupun hanya sejenak saja. Begitu pula, da’i harus keluar terus menerus, tidak pernah berhenti meskipun hanya sesaat. Pada saat kita telah memulai kerja, maka sampai matipun harus tetap kita pertahankan kerja dakwah tersebut. Jangan berhenti. Inilah da’i yang sebenarnya, mempunyai sifat seperti matahari, yang tak kunjung berhenti dari peredaran walaupun cuma sejenak saja. Apabila sifat ini sudah ada pada seorang da’i, maka pada saat da’i masih hidup agama juga hidup, dan pada saat da’i yang dimaksud meninggal dunia, maka agama juga masih tetap akan hidup. Untuk itu kerja dakwah ini ada dua macam. Yaitu pertama untuk diri kita sendiri, dengan amalan maqomi, dan yang kedua untuk orang di luar diri kita. Jadi kerja untuk diri sendiri, dan juga kerja untuk orang lain.

Sifat matahari yang ketiga, dia berputar menyinari permukaan bumi, tidak menginginkan apa-apa dari bumi tersebut. Demikian pula, seorang da’i harus terus berkerja, tanpa mengharapkan upah dari siapapun saja. Kita kerja agama ke sana ke mari, tetapi tidak mengharap apapun dan tidak minta upah dari siapapun. Kita langsung minta upah kepada Allah SWT. Jangan minta apapun dari siapapun, kecuali mengharap ridho dari Allah. Kita kerja dan kerja terus, hasilnya nanti baru akan dapat kita lihat di akhirat. Begitulah yang pernah dikerjakan oleh para sahabat Nabi.  Mengitari permukaan bumi ini, menyebarkan agama tanpa mengharap upah dari siapapun. Mereka tidak mengharapkan keuntungan dunia sedikitnya, yang diharapkan adalah keuntungan di akhirat. Kerjakan saja apa yang telah diperintahlan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kerja saja terus, dan Allah SWT akan menetapi janji yang telah diberikan kepada kita. Kita buat kerja, dan hasilnya baru kita petik di akhirat nanti. Apabila kita hanya menengok hasil-hasil di akhirat nanti, itulah yang dinamakan ikhlas. Oleh karena itu, kalau di hati kita tidak ada kebesaran akhirat, tidak rindu dengan kampung akhirat, maka syetan akan jerumuskan kita, syetan akan sesatkan kita di dunia, dan kita kerja dakwah ini semata-mata hanya mengharapkan keuntungan dunia saja.

Dalam mengerjakan dakwah ini, harus dengan sifat ikhlas. Caranya dengan membesarkan tentang akhirat dan mengecilkan dunia. Tidak menginginkan sesuatu apapun yang ada di dunia, kecuali akhirat, itu yang disebut ikhlas. Bagi orang yang ikhlas, dia tidak tergiur dengan gemerlapnya dunia, karena dia yakin akan mendapatkan yang lebih baik di akhirat nanti. Kita mengerjakan dakwah ini, tidak ada pamrih dari siapapun, semata-mata karena Allah. Pada saat kita dakwah, kemudian orang mau mendengarkan atau tidak mendengarkan, hal ini tidak menjadi masalah. Orang mau duduk atau tidak duduk di masjid mendengarkan bayan atau targhib, tidak ada masalah. Yang penting, kita ikhlas mengerjakan usaha ini. Tetapi, kalau tidak ikhlas, kita paksa orang untuk duduk tawajuh. Pada saat mereka tidak mau duduk, kita marah. Ini sebagai pertanda kita tidak ikhlas. Terserah mereka, yang penting kerja saja semata-mata mengharap ridho dari Allah. Apabila kita tidak ikhlas, maka kita tidak akan dapat mencapai suatu maqom atau kedudukan yang diterima oleh Allah SWT.

Apabila kita mengerjakan dengan ikhlas, maka kita akan mudah mengamalkan suatu amalan, dan Allah akan menepati janji-janjinya. Karena janji Allah adalah haq. Dicontohkan, apabila kita sholat dhuha. Dengan sholat dhuha, dikatakan kita akan mendapatkan keberkahan dalam rezeki kita. Janji Allah adalah benar. Kalau kita kerjakan sholat dhuha, maka rezeki kita akan berkah. Tetapi, kalau kita sholat dhuha semata-mata untuk mendapatkan keberkahan rezeki kita, maka hal ini namanya tidak ikhlas. Sedangkan kalau kita kerjakan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka Allah pasti akan menepati janjinya, dan rezeki kita menjadi berkah.

Untuk itu, sebelum mengerjakan suatu amalan, kita harus membenarkan  atau meluruskan niat kita. Demikian pula, setelah amalan tersebut kita kerjakan, kita harus tetap meluruskan atau membenarkan niat kita. Pada saat kita sedang mengerjakan amalan, kita juga harus membenarkan dan meluruskan niat kita. Tidak ada satu mufti-pun yang dapat memberikan fatwa tentang ikhlas. Kita sendiri yang dapat mengatakan, apakah kita itu ikhlas atau tidak. Untuk itu, kita harus betul-betul meluruskan niat kita dalam melaksanakan suatu amalan.

Kadang-kadang, pada awalnya kita ikhlas dan juga melakukan pengorbanan. Tetapi, setelah orang menghormati kita, orang melayani kita, maka syetan mulai menggoda dengan berbagai tipu dayanya, dengan maksud merusakkan niat. Syetan membisikkan ke hati, agar kita selalu ingin dilayani  dan ingin mendapatkan dunia. Kalau ini sudah terjadi, maka kerja-kerja yang sudah pernah kita buat akan rusak semuanya. Oleh karena itu, setiap saat kita mengerjakan usaha dakwah ini, harus disertai perasaan takut. Maksud dari usaha ini, adalah merubah kehidupan menuju ke arah yang diridhoi oleh Allah. Perubahan yang bagaimana ?. Yaitu, meningkatnya amal kita, meningkatnya iman kita, meningkatnya akhlak kita, meningkatnya muamalat kita, meningkatkan muasyarat kita, sehingga ada peningkatan terus, dan inilah yang dimaksud dengan usaha dakwah.

Jadi keluar 40 hari, 4 bulan ini, maksudnya adalah untuk merubah kehidupan kita. Apabila kita sudah keluar, tetapi kehidupan kita tidak berubah, ini artinya pertolongan Allah belum bersama kita. Keluar 40 hari atau 4 bulan ini bukan maksud hidup kita, tetapi perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik itulah maksud hidup kita. Untuk itu, kita harus sering instrospeksi terhadap diri kita, amalan selama 24 jam yang sudah dikerjakan, dan pada malam hari kita merenung apakah ada perubahan ke arah kebaikan atau tidak. Berapa amal kebajikan yang kita telah perbuat, dan berapa kekurangan-kekurangan yang belum dikerjakan. Ini harus selalu kita renungkan. Apabila sudah banyak amal kebajikan, maka kita harus bersyukur kepada Allah, sedangkan kalau banyak kekurangannya, maka kita harus minta ampun kepada Allah.

Sesudah kita keluar 3 hari, sesudah kita keluar 40 hari, lihatlah apakah ada perubahan dalam kehidupan kita ?. Apakah iman kita meningkat ?. Apakah amal kita meningkat ?. Apakah keyakinan kita meningkat?. Apakah akhlak kita meningkat ?. Apakah muamalat dan muasyarat kita meningkat ?. Apakah sifat ingin melayani kita meningkat ?. Apakah tawadhu’ kita meningkat ?. Kita tengok dalam diri kita sendiri. Apabila terjadi dalam perubahan kehidupan kita, maka akan terjadi perubahan di seluruh alam.

Keputusan Allah tidak kepada seluruh alam, tetapi keputusan Allah kepada pekerja agama itu sendiri. Apabila si pekerja agama tadi berubah, maka dengan kodrat-Nya Allah akan rubah seluruh alam ini. Bukan kita yang menyebarkan agama. Pemikiran bahwa kita yang menyebarkan agama, harus kita keluarkan dari hati kita. Dan kita masukkan pemikiran, bahwa yang menyebarkan agama adalah Allah SWT. Allah Ta’ala akan menyebarkan agama, apabila terjadi perubahan hidup dalam diri kita. Untuk itu, kita kerja agama ini dengan belajar. Sambil belajar, kita buat kerja. Jangan mempunyai pikiran, kita sebagai orang alim yang mengerjakan pekerjaan ini. Orang yang lebih tahu tentang usaha ini, itulah yang harus kita tanya. Kepada syuro, atau syuro di tempat kita, itulah tempat kita bertanya. Kemudian kita kerjakan dengan musyawarah, maka kita akan mendapatkan sifat islah. Dengan bekerja kita sambil bertanya, maka kita akan mendapatkan sifat islah.

Dengan musyawarah kita mengerjakan usaha ini, itu juga namanya pengorbanan. Dengan musyawarah, kita juga akan mendapat sifat ta’at. Apabila kita mengikuti musyawarah, dan musyawarah itu salah, maka Allah akan memberikan ma’af. Apabila kita tidak ikut keputusan musyawarah, kemudian terjadi kesalahan, maka Allah akan memberi azab dan tidak mema’afkan. Kalau ini terjadi, maka islah tidak akan kita dapatkan, dan syetan akan menduduki kita. Islah itu wajib, dan berdebat itu haram. Orang yang selalu berdebat, maka dia tidak akan mendapatkan sifat. Apabila da’i ada usaha untuk islah, maka Allah akan memberikan islah pertama kali padanya, dan orang lainpun akan mendapatkan islah juga.

Untuk mendapatkan islah, tidak hanya cukup dengan pengorbanan dan keletihan, tetapi juga harus dengan do’a kepada Allah SWT. Kita do’akan nama-nama kawan kita dengan menyebut namanya. Apabila kita mendo’akan kawan kita, maka malaikat akan mendo’akan kita. Kemungkinan do’a kita tidak diterima oleh Allah, tetapi do’a para malaikat pasti akan diterima oleh Allah. Maka kita harus jaga betul do’a ini. Jangan lupa dengan do’a dan jangan lalai. Do’a adalah senjata bagi orang mukmin. Dengan do’a, Allah akan senang kepada kita. Orang yang tidak mau berdo’a, dia akan mendapat celaan dari Allah. Karena sama saja dengan tidak ta’at kepada Allah. Untuk itu, kita harus selalu jaga do’a ini. Habis beramal kita berdo’a. Habis membaca Al Quran kita berdo’a. Habis sholat kita berdo’a. Habis jaulah kita berdo’a. Dan di akhir malam, pada saat orang lain tertidur pulas, kita berdo’a kepada Allah. Apabila kita  selalu jaga do’a, maka segala macam keburukan yang ada di hati kita, kedengkian, kebencian, dengan kodrat Allah akan dijauhkan semua keburukan tersebut. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua. Amien.

Sifat sabar, adalah sifat yang sangat penting. Seorang da’i harus mempunyai sifat yang sabar dan tahamul. Para sahabat RA, telah mempunyai sifat sabar ini. Apabila kita kerja dakwah dengan sabar dan tahamul, maka Allah akan hindarkan dari segala kerugian. Apabila kita kerja ini dengan tidak sabar, maka kita tidak akan dapat melakukan kerja dakwah ini. Ini adalah kerja-kerja para Nabi AS. Dalam kerja ini, kita akan mengalami kekurangan nikmat-nikmat, dan mendapatkan banyak kesusahan. Apabila kita kerja dengan sifat sabar dan tahamul, maka Allah akan hindarkan kita dari kerugian-kerugian dan Allah akan teguhkan kita dalam kerja ini.

Pada suatu hari, ada seorang Arab Badui datang ke Masjid Rasulullah SAW dan dia kencing dalam masjid. Para Sahabat marah dan berlari untuk menangkap orang Badui tersebut. Rasulullah SAW mengatakan kepada para sahabat : “Jangan kamu buat apa-apa padanya”. Setelah orang tadi selesai kencing, kemudian Rasulullah SAW datang kepada orang tadi dan mengatakan : “Ini adalah rumah Allah. Tempat ini untuk beribadah kepada Allah. Bukan untuk kencing dan sebagainya”. Kemudian Rasulullah SAW meminta sahabat untuk mengambil air, untuk membersihkan masjid itu. Melihat tindakan Rasulullah j tersebut, orang Arab Badui itu pulang ke kampungnya, dan berkeliling kampung  berdakwah dan mengumumkan: “Hai saudara-saudara saya telah datang ke seseorang yang tidak memarahi saya, tidak menghina saya, tidak mencaci saya. Dia adalah orang yang sangat baik, maka ikutilah perkataannya”. Dari peristiwa ini, apabila Rasulullah SAW tidak bersabar, para sahabat tidak bersabar, apakah akan datang kebaikan ?.
Selama 13 tahun, Rasulullah SAW di Mekkah memberikan pelajaran sabar kepada sahabat-sahabatnya. Dengan sifat sabar ini, maka akan terbina iman. Dengan sifat sabar, maka akan terbina akhlak. Dengan sifat sabar, kehidupan akan berubah. Dalam suatu perjalanan, Rasulullah SAW melihat Ammar RA dipanggang di bara api, dipegang oleh empat orang. Darah dan lemak-lemak Ammar yang menetes, telah dapat memadamkan bara api tersebut. Pada saat itu, dia berteriak: “Ya Rasulullah, kapan datangnya pertolongan Allah ?”. Maka Rasulullah SAW menjawab: “Kamu bersabar, dan kamu akan mendapatkan sorga”. Inilah pelajaran sabar. Dengan kesabaran inilah, maka akan terhindar dari kerugian-kerugian dalam kerja dakwah.

Demikian pula, kita kerja dakwah ini harus dengan perasaan syukur. Setiap langkah-langkah yang dikerjakan, kita harus bersyukur kepada Allah. Setelah mengerjakan amal, kita koreksi diri kita: “Ya Allah, saya tidak dapat menunaikan amal ini dengan haq sesuai dengan yang dikehendaki. Apabila ada kekurangan-kekurangannya, ya Allah ampunilah diri saya”. Da’i harus senantiasa bersyukur kepada Allah dalam situasi apapun. Dalam kesulitan, dalam kesusahan, harus selalu bersyukur. Setiap saat dan keadaan, harus selalu bersyukur. Apabila kita selalu bersyukur, maka Allah akan bukakan keuntungan dalam kerja ini. Apabila kita bersyukur, maka Allah akan berikan dua keuntungan yang besar. Pertama, amal itu akan diterima oleh Allah. Kedua, Allah akan berikan istiqomah dalam amalan itu. Untuk itu, setiap saat dan setiap keadaan, kita harus selalu bersyukur kapada Allah SWT. Dalam salah satu ayat, Allah berfirman yang artinya antara lain: “Apabila kalian bersyukur maka akan Aku tambah nikmat-Ku dan apabila tidak bersyukur maka akan datang azab-Ku”. Jadi kenikmatan dari Allah akan dicabut, dan azab Allah akan datang, kepada orang yang tidak bersyukur. Untuk itu, maka kita niatkan untuk berdakwah dengan sifat-sifat tersebut di atas. Insya Allah. Kemudian kalau ada kekurangan-kekurangan, maka kita harus bersihkan hati kita.

Apabila karkun tidak bersatu, bagaimana akan dapat menyatukan seluruh dunia. Untuk itu, yang pertama kita harus belajar kasih dan sayang. Apabila sifat cinta dan kasih sayang tidak ada, maka pertolongan Allah tidak akan bersama kita. Apabila tidak ada rasa cinta, maka tidak ada kemampuan untuk membuat kerja. Apabila tidak bersatu, maka kita tidak akan dapat mempelajari kerja ini dan kerja ini tidak akan terbuka untuk kita. Apabila tidak dengan cinta dan kasih sayang, maka kita tidak akan dapat bermusyawarah. Untuk itu harus ada rasa cinta satu sama lainnya. Kita harus saling melayani kepada setiap orang. Kita harus hargai setiap orang. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua. Amien.